(Aan
Mansyur, saat sedang menjelaskan materi tentang Menulis Kisah dalam Sajak di
Bentara Budaya Jakarta, Sabtu, 08 Juli 2017).
“Bandara dan udara
memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di
jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam
antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan
dihalang uang dan undang-undang…” Begitulah saat
Aan Mansyur, yang disapa akrab Bang Aan, membacakan puisi yang berjudul Batas
dari salah satu buku Tidak Ada New York Hari Ini. Pembacaan puisi tersebut,
dari salah satu hadirin yang bertanya juga mengabulkan permintaan untuk
membacakan salah satu puisi yang akan terdengar dari suara milik Aan sendiri.
Beliau yang datang dengan memakai
kacamata dan kemeja putih, menjelaskan tentang kepenulisan puisi dari setiap
kisah-kisah hidup. Juga menulis yang Aan terangkan kepada audiens yang
rata-rata anak muda berdatangan, adalah salah satu seni berpikir dalam kepala.
“Seni berpikir itu adalah, yaitu bagaimana kita menuliskan sesuatu dan
memandang lain cara mengungkapkan,” ujar Bang Aan. Bahasa yang di paparkan,
merupakan bahasa-bahasa lain. Aan sendiri, terdengar berat kosakata saat
menjelaskan materi dan menggunakan konsonan kata dan berupa majas-majas yang
hanya anak Sastra Indonesia yang mengetahui. Namun, membuat audiens beberapa mengerti tentang
percakapan Bang Aan Mansyur tersebut.
“Seorang penyair, menurut saya
adalah pekerjaan tentang meragukan diri sendiri.” Ucapnya lagi. Yang secara
langsung mengemas sebuah kata penyair sebagai pekerjaan meragukan diri sendiri
melalui sebuah kata-kata. Menurut Aan, setiap puisi-puisi yang pernah Aan buat,
adalah mengundang sebuah pertanyaan dan kemudian menjawabnya. Tentu, masa kecil
Aan yang setiap bangun tidur, memiliki dua puluh pertanyaan yang harus di
jawab. Sebagaimana puisi, menurut Bang Aan, adalah cara lain mengungkapkan atau
menjawab hal-hal sekitar dari pandangan.
“Puisi juga bukanlah sesuatu yang
indah dari kata-katanya, tapi ada cara lain yaitu bagaimana kita mengungkapkan
sendiri dan memiliki cara pandang lain,” kemudian Aan Mansyur memaparkannya
kembali. Cukup ramah beliau menyampaikan materi, meskipun beliau adalah seorang
yang pendiam dari luarnya. “Kalau kamu, belum mengenal Mas Aan, pasti kamu
menganggap saya ini adalah orang yang pendiam. Saya cerewet tentunya, jika kamu
sudah mengenal saya.” Kemudian menjelaskan lagi diselingi tawa oleh hadirin
yang mendengar.
Metafora sendiri, dari sebuah kata-kata,
Aan mengucapkan bahwa Metafora dalam kata bukanlah sesuatu kata yang indah.
Melainkan ada beberapa pertanyaan maksud lain dari sebuah kata Metafora. “Dan
saya melihat kata Metafora di bahasa Inesia, dan bahasa Latin sungguh berbeda.
Di bahasa Inesia, Metafora adalah sebuah kata-kata indah yang kita ucapkan,
atau yang mau kita tuliskan. Tapi maksudnya, bukan seperti itu,” ujarnya,
dengan pengucapan kata bahasa Indonesia dengan Inesia karena berdarah Bugis
tersebut. “Dalam contoh, misalkan dia cantik, kata Metafora bermaksud, kenapa
dia cantik?” Aan memberikan pertanyaan tentang Metafora. Dan membuat hadirin
turut mengerti akan kata Metafora yang selalu dikaitkan dengan kata-kata yang
indah pada buku Pelajaran Bahasa Indonesia.
Acara yang bertempatan di Bentara
Budaya Jakarta, Palmerah, Sabtu kemarin, merupakan hal yang tepat dalam
mengusung acara hingga mengambil sebuah tempat pada arena kesenian adat rumah
yang terdapat di beberapa gang-gang Kompas Gramedia dan Tribun News tersebut. Acara
yang memiliki kuota terbatas untuk bertemu dan mendengar perbincangan Mas Aan
dalam penulisan puisi, sesuatu hal lain dimana kata-kata Mas Aan menjadi cukup
bekal dalam ilmu yang ingin menjadi penulis apapun. Puisi, Cerita Pendek,
ataupun Novel.
“Jika saya puitis, tentu kamu harus
melihat hal yang lain. Bahwa masih ada yang lebih puitis dari saya, contohnya
yang pembuat film-film. Itu, tentu lebih puitis dari saya,” ungkapnya lagi.
Acara yang ditutup pada jam 18.00 WIB cukup antusias ketika selesai hadirin
mengantri untuk meminta tanda tangan dari setiap karya Aan Mansyur, dan juga
hanya untuk sekedar foto bersama.
Aan Mansyur, salah satu penulis
puisi dari kota Bone, Sulawesi Selatan, dan bekerja di sebuah Pustakawan
Katakerja di Makassar. Karya-karya beliau antara lain: Aku Hendak Pindah Rumah(2008), Cinta Yang Marah(2009), Tokoh-tokoh yang
Melawan Kita dalam Satu Cerita(2012), Kukila(2012), Kepalaku: Kantor Paling
Sibuk di Dunia(2014), Melihat Api Bekerja(2015), Tidak Ada New York Hari
ini(2016), Sebelum Sendiri(Jual Buku Sastra, 2017), Cinta Yang Marah(2017), dan
Perjalanan Lain Ke Bulan(2017).
Penulis: Aflaha Rizal
(Dua
buku karya M. Aan Mansyur yang ditandatangani olehnya).
No comments:
Post a Comment