Powered By Blogger

Thursday 25 June 2015

Embusan Angin Kencang


Menajaki ke sebuah gunung Salak daerah puncak yang begitu tajam mencolok di pencakar langit-langit biru. Juga dari jauh pun terlihat sangat berdekatan, hal itu tak membuat Arfan juga Naomi yang berdua saja menaiki gunung lantaran mereka berdua, ingin merasakan setiap jadwal mereka berdua yang terbilang hal yang biasa saja. Menongkrong lama di café, menonton bioskop, juga candylight dinner yang begitu sering mereka berdua lakukan pada malam hari. Mereka berdua, memutuskan untuk menaiki gunung dengan hal yang baru untuk mereka berdua.
Arfan mencari letak lokasi gunung Salak itu, dan menikmati perjalanan yang begitu mereka mulai jajaki gunung barengan oleh para pendaki-pendaki gunung yang profesional. Sebenarnya, Arfan bukanlah seorang hiking sejati, juga tidak selalu menaiki beberapa gunung di Indonesia yang ada. Hanya saja, Arfan ingin mencari suasana yang begitu tenang, damai, menikmati alam-alam Indonesia dengan selama berhari-hari aktivitas ia bekerja dengan penuh kebebanan yang ada. Hal itulah yang tak mau membuat Arfan dan Naomi terlewatkan. “Duh, sinyalnya kosong.” Naomi mengangkat handphone smartphone-nya, dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. “Memang disinilah, gak ada sinyal, semua alat komunikasi jaringan mati.” Kata Arfan, berjalan santai beriringan dengan balutan jaket yang tebal.
“Nanti aku gak bisa check location di Path, dong? Ya kali momennya gak bakalan keliatan nanti di Path.” Sergah Naomi, memasang wajah yang cemberut. Arfan tertawa mendengarnya, “Kamu tuh, Path palingan cuman mau numpang eksis doang, kan? Kayak check location di gunung Salak biar temen-temen Path kamu terpana melihat kamu lagi naik gunung. Gitu?” Naomi menatap matanya, dengan pandangan tidak suka. “Yaudah, sih, biarin aja. Sirik.” Arfan merangkul Naomi, dengan sarung tangan Arfan yang begitu melekat di tangannya sehingga tidak merasakan kedinginan. “Yaudah, maaf ya, sayang. Udah diajakin naik gunung malah kayak gitu.”
“Ya abisnya, di bully melulu.” Nada Naomi terlihat manja, juga kedua tangannya yang ia lipatkan di dada. Itulah sisi Naomi, ceria, suka murung kalau di bully sama Arfan. Dan perjalanan menaiki gunung tersebut, tak akan mereka lewatkan bersama-sama. Naomi kerab merapatkan jaket cokelatnya, juga menutup kepalanya dengan kupluk yang terdapat dibagian kepala belakang di jaket cokelatnya. Menghindarkan dari kedinginan yang merasuki badannya. Angin-angin mulai berhembus sedikit dan terus saja anginnya keluar ketika mereka berdua masih berjalan. Berusaha untuk menaiki gunung Salak itu. Keindahan gunung alam di negara pangkuan ibu Pertiwi.
Naomi merasakan embusan angin yang melandanya, ketika sampai di puncak yang sempat berbarengan oleh para pendaki-pendaki gunung yang dari daerah mana saja. Juga komunitas yang mereka buat, komunitas ‘Pendaki Gunung Sejati’. Kebun teh pun dibuat kecil, sangat kecil. Naomi merenggangkan tangannya, memejamkan matanya, menikmati embusan angin yang terus tidak berhenti bertiup dari langit. “Arfan… Sini, deh, sini…” Naomi menarik tangan Arfan yang ada di sebelahnya. “Kenapa?” lirih Arfan, menaiki satu alisnya. “Kamu rasain, deh, sini…”
Arfan dibuatnya bertanya-tanya, ada apa ini sebenarnya? “Sini, tapi kamu dibelakang aku, ya. Aku yang didepan. Kamu pejamin mata kamu, renggangin kedua tangan sama-sama. “ Perintahnya. Arfan pun mengikuti Naomi yang sempat dibuatnya penasaran. Merenggangkan kedua tangannya dengan secara berpegangan tangan Naomi, memejamkan kedua mata dua sejoli itu, dan hanya gelap saat mata yang ditutup. Ada rasa dimana, Arfan merasakan sebuah angin yang masuk ke dalam tubuhnya, menyegarkan badannya hingga menaiki atas kepalanya. Seketika, pikiran Arfan kembali segar. Beban-beban yang telah ia lewatkan, begitu hilang seketika dengan derusan angin dengan pejamkan mata yang Naomi lakukan sebelum Arfan mengikutinya.
“Seger…” Ucap  Arfan, tertawa  mengucapkan  perkataannya  yang  seperti  itu. Naomi tersenyum  dan  membuka  matanya,  lalu  melihat  keadaan  sekitar. Tak  peduli beberapa pendaki yang melihat Naomi juga Arfan yang melakukan seperti itu. Tepukan tangan Naomi yang ditepuknya sekali, menyuruh untuk Arfan membuka matanya. “Jadi seger, kan? Pada ilang semua?” tanya Naomi dengan tersenyum. Arfan mengangguk, “Iya. Ilang semua beban-bebannya. Malahan pas mejamin mata juga udah ilang.” Kini, derusan angin yang menghembus dari atas puncak gunung salak. Yang menyegarkan badan mereka berdua, hal tersebut tak akan mereka lupakan lagi, dengan kamera SLR yang Arfan bawa untuk memotret keindahan alam di atas gunung Puncak tersebut. Keindahan alam yang begitu Arfan baru kali pertama ia jajaki, dan kali pertamanya ia menaiki gunung bersama sang kekasihnya.


PS: Cerpen ini, dalam rangkaian sebuah acara lomba cerpen yang saya ikuti pada tahun 2015. Juga acara lomba tersebut dari salah satu pemilik penerbit buku Indie salah satu penerbit Indie pertama di self-publishing @NulisBuku.com, juga yayasan @KEHATI yang juga turut bekerja sama dalam rangkaian acara penulisan lomba cerpen ini yang mengenai tentang #AwesomeJourney.  Tentang alam/keanekaragaman hayati di Indonesia.Doakan saya, semoga saya bisa menang di lomba cerpen ini J

Monday 22 June 2015

Aku Hanyalah Makhluk Yang Berdosa



Hidup yang selalu berbeda-beda, membuatku melihatnya dengan jeli. Hidup mereka yang serba mewah, ada yang hidup mereka yang serba sederhana, ada juga yang hidup mereka yang serba miskin. Tak terhingga berapa semua manusia di seluruh negara yang hidup di dunia penuh dengan kekerasan juga nafsu yang tinggi. Semuanya berbeda dengan kepercayaan dan agamanya masing-masing. Yang Islam, ya Islam. Kristen, ya Kristen, Budha, ya Budha, Hindu, ya Hindu. Menaiki usia hidupku yang ke 18 nanti, aku begitu melihat beberapa kerab didalam diriku yang aku anggap kotor bahkan busuk. Seperti bangke dicampur tinja-tinja binatang.
           
            Selagi manusia yang selalu bersamaku, canda tawa, hiruk pikuk atau apa yang serba bisa menyerukan di dunia ini. Aku menyamakan, bahwa aku dan mereka sama. Namun, dalam kerab apa yang mereka punya, sungguh berbeda dariku. Bukan segi materi, segi kemehawan, segi unsur tujuh turunan. Namun yang bikin beda, dosa-dosa yang mereka punya. Aku tidak akan pernah tahu selain Tuhanku Allah SWT yang bisa melihat dosa-dosa umatnya yang masih hidup di dunia ini.

            Mencakar, berantem di kala aku sedang di isengi oleh satu temanku yang menyembunyikan tas ku, mengeluarkan kata-kata yang kotor bahkan bawa-bawa binatang, serta banyak dosa-dosaku yang mungkin aku lupa apa yang pernah aku lakukan hingga menyebabkan dosa-dosa buruk bahkan busuk. Sisi lain, aku berusaha mengimbangi dengan kebaikan, apa yang aku jalankan. Meskipun mimpi apa yang sedang aku kejar, belum terlihat dan selalu jatuh di pertengahan.

            Aku pernah, memimpikan apa yang aku impikan. Bisa berada di panggung, bernyanyi, bahkan kalau boleh sambil memegang gitar meskipun tak seperti pemain gitar yang puncak level-nya sudah pro bahkan tak bisa dilawan dengan yang masih level Easy maupun Normal. Menjadi Jurnalistik, memimpikan sebagai wartawan yang mengejar informasi berita untuk surat kabar, news anchoor yang selalu nongol di Televisi berita-berita, membuat sebuah buku berbentuk Novel yang bisa dikatakan penulis, mempunyai kehidupan layak, dan banyak.

            Seberapa pun dosa-dosaku, aku masih ingin bisa meneruskan langkah-langkah kakiku yang menuju apa yang belum kuketahui di masa depan. Ayahku pernah berkata, “Kamu bakalan tau masa depan nanti, sekarang kamu rasain saja apa yang kamu suka.” Great! Contohnya, kesukaan yang aku sedang jalani, ialah Rooftoping. Selalu saja aku ingin bisa menaiki beberapa gedung tinggi di Jakarta, meskipun hanya dua gedung saja yang berhasil aku jajaki.

            Seberapa pun dosa-dosaku, aku ingin terus mengingat segala apa yang udah diciptakan hingga terbentuk 100 persen normal. Tapi, apakah aku yang sudah beratus-ratus juta dosa yang ada didalam diriku, masih boleh memegang Al-Qur’an? Sehabis sholat maghrib pun kelak aku lakukan. Membaca dengan suara seperti orang-orang yang sering menuturkan nada saat sedang membaca Al-Qur’an.

            Seberapa pun dosa-dosaku, aku masih ingin terus menjalani ibadah apa yang diperintahkan darinya. Meskipun dosa didalam diriku kotor, aku ingin mengimbanginya dengan kebaikan. Sebera pun dosa-dosaku, aku ingin kelak hidupku bahagia, sebagai calon imam nanti di masa yang akan datang, aku ingin kelak bisa hidup bahagia atas karunianya. Hingga hidup dengan agama, hingga mati aku ingin tetap tersenyum di hadapanmu, Ya Allah.

            Meskipun begitu, aku masih teringat akan perbuatan apa yang pernah ku perbuat. Yang bisa menjadikan sebuah dosa/kotoran yang menciprat di sekujur baju putihku yang suci ini. Dan aku, hanyalah makhluk yang berdosa.

Monday 8 June 2015

Kesunyian Hamparan Angin




30 Mei 2015, menjadi bagian dimana aku libur saat aktivitas sekolah, mencari ketenangan kesegaran yang aku jejaki pada hari itu. Jackloth Summer Fest 2015, aku menghadirinya karena lantaran aku ingin membeli pakaian baru saat yang ada di lemariku yang lama, kini sudah kecil dan sudah tidak layak pakai di badanku. Terpaksa kuberikan kepada adikku yang laki. Muat sekali. Bersama teman rumah yang kuhadiri, dengan kuajak saudaraku sepupu yang juga mau ikut. Aku menghadirinya saat pameran stand-stand baju-baju mulai menggelegar dengan kecerahan yang bagus.

            Panggung yang masih dalam keadaan check sound dan belum salah satu musisi yang manggung sesuai jadwal, mereka melakukan check sound dengan membawakan lagu satu saja untuk melancarkan semuanya supaya tidak ada kendala apa-apa saat musisi sungguhan mulai show a stage. Panas terik yang lama-lama membuatku pusing, para pengunjung pun kuat dan rela borong-borong baju yang ada di stand saat terik matahari mulai berlangsung. Sengaja aku panas-panasan dan sungguh membuatku nyaman, tetapi lama kelamaan pun pusing mulai terasa.

            Berlama saat disana dan sudah membeli baju sejumlah 4 baju, aku keluar dan mulai ke mall fX Sudirman hanya untuk meredakan keadaan di hamparan AC yang menyala dimana-mana. Sungguh yang tadinya keringat panas ketika di lapangan, ketika sudah didalam area dingin pun, keringat berubah menjadi keringat dingin. Hamparan panas tadi, tenggorokanku dehidrasi dan perut lapar pun semakin berguncang. Inti dari semua yang kurasakan, aku seperti pekerja paksa pada penjajahan Jepang, Romusha. Untungnya, aku bisa menyeimbangkan kualitas ion-ku dan gizi ku. Sungguh, kalau aku tidak mengisinya, mungkin seperti pada zaman penjajahan itu.

            Hamparan saat di Jackloth pun banyak sekali, stand yang sungguh nama brand itu sudah lazim di pikiranku, Dream Bird. Pengunjung banyak yang memborong pakaian yang bermerek burung hantu itu. Tadinya, kalau sempat, aku ingin membelinya. Namun, saat ke stand itu, sudah kosong dan sudah tutup. Bagian dalamnya pun saat kulihat, sudah tidak ada tumpukan baju atau jaket Dream Bird. Ini memang banyak sekali peminat yang ingin memiliki brand burung hantu itu. “Gila! Udah abis aja Dream Bird,” keluhku, melihatnya bertajuk aneh.

            “Namanya juga brand keren.” Kata Fikri, sepupuku yang kuajak kesini dan dia membeli baju yang dia suka. Aku mengangguk, “Iya sih, cuman ini mah parah. Udah abis aja, barusan masuk baru diborong, giliran mau kesitu, udah tutup.” Tambahku, sedikit masih tidak percaya melihatnya. Akhirnya, mungkin aku bisa membeli baju itu nanti. Lauk pauk yang menjadi andalanku ketika siang itu, begitu mengenyangkan di perut. Setelah keluar, rasa lapar pun bertahan hingga lama. Sampai pada akhirnya, aku naik ke puncak rooftop yang begitu tinggi, dan angin bermain-main dengan sedikit kencang.

            Aku merasakannya ketika itu sunyi berada di puncak paling atas, dan hanya sedikit mendengar suara-suara klakson kendaraan, dan juga suara kendaraan seperti motor. Aku melihat dan duduk sila saat di pinggir rooftop. Aku melihat ke bawah, Gelora Bung Karno terlihat begitu jelas. Di bawah sana, terdapat polisi ada 4. Saat ini, operasi razia lagi besar-besaran. Terdapat di kota mana saja. Ketika sepupuku dan dua temanku yang bersama-sama menaiki puncak rooftop, mereka sempat-sempatnya mengambil view di puncak rooftop.

            Aku mengambil ketika aku berpose yang sedang menatap langit dan melihat ke sebelah kiri dengan gerakan kepalaku. Pose itu, dari belakang. Berdiri diatas puncak ini, begitu aku bisa merasakannya begitu sunyi dan bisa menghempaskan apa yang ada. Angin  yang seakan membantuku untuk melepaskan beban yang ada, meskipun tinggi dan begitu seram saat aku melihat ke bawah yang terdapat bagian kendaraan yang kecil seperti mainan. Tetapi, aku begitu menikmatinya, dan puas sekali melihat banyaknya gedung-gedung Jakarta yang terlihat jelas ketika siang itu. Kali itu, aku begitu puas saat berada disana.

            Hingga pada akhirnya sempat ingin pulang dan berjalan mencari angkutan umum untuk mengantarkan ke stasiun kereta. Begitu melihatnya tadi, aku bisa kembali segar dan puas sekali bisa ada disana. Meskipun sulit untuk menggapainya, aku begitu senang di hari itu. I fresh this day, because blow playing with me. And make a happy in world and happy in my heart.