December,
20, 2015
Orang-orang
begitu ramai di
dalam kereta ini, kereta yang akan menuju ke arah Bogor. Bojong Gede tempat aku
akan turun disana. Aku bisa lega sekarang, bisa duduk di kursi yang empuk
sehabis berjalan seharian di kota Jakarta. Hingga sore ini. Buku RUMAH BAMBU
yang sejak tadi kubaca, kupegang sesaat waktu tubuhku merasa rileks untuk duduk
sembari membaca. Buku kumpulan cerpen yang memasuki cetakan ke-enam di tahun
2012 cukup membuang mood ku yang bosan. Dan ini kudapatkan di sebuah obral buku
yang murah.
Bab
mulai dibuka dengan judul ‘Colt’, dan di pertengahan mulai kantuk menyapa. Kupaksa
untuk membaca, tak bisa. Disamping, temanku yang semenjak tadi, menemani ke
kota Jakarta. Tak hanya berdua, bahkan kami berempat kesana. Hanya sekedar
mencari kesegaran dan ketenangan, begitu kata Ferdi. Dia duduk yang tak jauh
dari aku walau terpisah, dengan kedua headset yang terpasang dan pandangan
kedua mata yang fokus ke gadget-nya. Satunya lagi, Seto, ada di tempat yang
berbeda. Namun bisa terlihat disana. Aku mulai menutup mata, buku yang dipegang
mulai kutaruh di kedua pangkal pahaku.
Gelap
semua dengan suara kereta dan keriuhan orang-orang yang berbicara, dan pula
juga ada yang diam. Sedikit-sedikit mulai terbawa arus ke alam tidur. Mulai
nyenyaklah aku sekarang, memutuskan beristirahat sebentar sebelum suara
pemberitahuan stasiun kereta yang berbunyi beberapa menit perjalanan.
Tadinya,
ke sebuah festival Stars Wars begitu membuat aku tenang dengan adanya Action
Figure disana. Aku tak tahu, sebelum aku berjalan ke Senayan City dari mall fX
berjalan kaki. Aku merasa ini langkah yang begitu dekat. Walau pulang-pulangnya
hujan-hujanan untuk kembali ke jalan raya mencari bis dan ke Sudirman stasiun
untuk pulang.
Aku
lupa tidak membeli kopi di Starbucks hanya sekedar mencicipi di dalam kereta.
Bibirku dan juga tenggorakan sepertinya mau kering. Dan juga versi sembari
membaca buku RUMAH BAMBU yang beberapa minggu lalu kubeli. Ketika di rumah,
mungkin terasa tenang jika kedua orang tuaku dan adik-adikku pada pergi. Kopi
dari Starbukcks, buku RUMAH BAMBU, atau tidak menayangkan serial TV untuk
sekedar iseng-iseng. Atau ditambah, kartun yang selalu kutonton di sebuah TV
kabel langganan yang pernah aku gunakan, Cartoon Network.
Sekarang,
hari yang kurasakan masih dirasakan. Handphone sudah tidak punya. Sudah satu
bulan ini semenjak bulan November handphone rusak karena terkena air hujan
waktu pulang sekolah. Mungkin memang bodoh. Aku mengutuki diriku itu. “Handphone
makanya dijaga, enak, kan gak punya handphone.” Ucap Ayahku, ketika
kuberitahukan info ini ketika ia sedang menikmati baca surat kabar Media
Indonesia yang dibacanya.
“Mau
bagaimana lagi, Yah. Namanya juga kebawa suasana.” Balasku.
“Semestinya,
kamu kalau ada akal, handphone kamu taro di plastik, biarin tas kamu basah sama
buku pelajaran kamu, yang penting komunikasi itu.”
Sudah
dua tahun kupegang handphone Android mini Samsung yang biasa kupakai hanya
sekedar internet atau membuka media social yang aku buka otomatis tidak Log
in-berapa menit-log out. 2013-2015. Sudah pastinya ini masa berakhirnya. Tak
ada musik yang selalu aku dengarkan dari band Good Charlotte, Maroon 5, atau
grup band lama seperti The Beatlles. Tak ada juga media social untuk sekedar
menyapa teman-teman lama lewat mention Twitter, atau Instagram melihat
kreativitas foto-foto yang dipajang disana.
“Woy,
bangun. Woy…” Tepukan pundak di pahaku membuat aku terbangun dengan mata yang
memerah. Ganggu aja orang lagi tidur,
gerutuku. Kulayangkan pandangan ke seorang laki-laki dengan memakai snapback
dengan tatapan menatapku. Kubangunkan tubuhku dan tidak menjawab dari orang
itu, seorang Ibu-ibu mulai duduk di tempat sebelah temanku yang tenang sekali
tidur. “Heran, kenapa gak dia aja, sih.” Gerutuku lagi, buku RUMAH BAMBU mulai
kupegang. Berdiri, dan memegang bundaran kecil menggantung untuk melindungi
diri dari kereta yang berhenti mendadak, atau berjalan pelan walau tubuh
bergoyang ingin jatuh.
Sejenak,
aku pindah ke lorong kecil yang berjalan kalau mau pindah ke bagian lain untuk
mencari tempat duduk kalau sedang kosong. Aku tepat berdiri di dalam lorong
kecil dengan didepan temanku yang mendengarkan lagu lewat headset. Didalam
lorong ini, sungguh goyang-goyang selama kereta berjalan. Ketika sedikit loncat,
aku terbawa, bergoyang pun sama. Lama-lama, buku RUMAH BAMBU kutaruh didalam
tas. Kuletakkan tas itu didepan dengan kedua tali tas yang menggantel masih di
kedua bahuku. Salah satunya untuk mencari keamanan, hanya tas digantel dengan
bagian belakang berpindah kedepan.
Aku
hanya terdiam sekarang. Berdiri. Menunggu pemberitahuan akan sampai ditempat
tujuan. Tak sampai beberapa aku terdiam, kucoba menoleh ke arah kanan sesaat.
Tatapan kulihat itu menoleh ke arah kanan lagi, dan kucoba pandangi seorang
perempuan itu. Sosok yang kukenal. Dengan menampakkan wajahnya sedikit, aku
betul-betul mengenai perempuan itu. Perempuan yang dahulu sama-sama berteman di
masa SMA. Tiga tahun lamanya, dan sekarang pun mulai agak renggang, bahkan dari
satu sama lain seperti orang asing.
Memang,
tak tahu kenapa aku bisa punya perasaan terhadapnya. Gak tahu kenapa ini semua
bisa aku rasakan. Terakhir, aku begitu mengungkapkannya. Lalu sejenak, dia menjilati
perkataannya sendiri dengan berhubungan oleh laki-laki lain. Terlebih dari
temanku sendiri. Aku begitu tak menyangka bisa bertemunya, perasaan ini masih
kupendam untuknya. Sesaat suara hati berbicara, “Sapa dia, Aflaha. Sapa.” Namun
entah kenapa ini begitu kaku untuk sekedar bilang, “Hai, Win” atau, “Hai,
ngapain lo disini.”
Sekarang,
sudah tidak seperti itu lagi. Dulu aku dan dia, sama-sama saling menyapa. Bahkan
sekarang, aku dan dia sama-sama jauh. Tak ada percakapan yang lebih seru lagi.
Karena ada dia, seorang laki-laki yang baru yang membuatnya terbawa suasana
dalam topik pembicaraan. Bahkan aku memarahi diriku sendiri. Tangan Ferdi
mengaba untuk aku duduk di sebelahnya yang kosong, aku menolaknya. Karena apa,
karena ada dia. Walau jaraknya agak sedikit dekat, dan tidak kusangka juga dia
duduk dengan papasan dengan kursi yang aku duduki tadi selama perjalanan
berlangsung. I meet you again, I’m need a
conversation about everything, and he’s changed.
Dia
memang telah berubah, dan aku sekarang hanya berdiam diri lagi, menatapnya,
seolah-olah aku mengetahui dulu yang sama-sama saling bicara. Sekarang sudah
tidak. Dari tatapannya saja, sudah terbaca. Cuek, dan seperti tidak mengenaliku
lagi. “Kamu bahkan gak tahu bahwa aku masih menyimpan ini semua,” batinku. Harapanku
sekarang hanya bisa kupendam. Kuingin bicara lagi, dan kuingin mengatakan
semuanya. Aku merasa, ini sudah percuma.
Masih
sering bertemu di sekolah, tak ada menyapa lagi. Bahkan satu kantin saat
dimulainya UAS di bulan Desember. Aku hanya membeli makanan bersama temanku
sembari berbicara sedikit-sedikit. Lalu tatapan ke arahnya. Yang makan
berhadapan dengan seorang itu. Temanku sendiri.
Yeah, I know but this my heart, not lie. Not
lie. I want to said love for you. Actually… this never time for me. Sesaat
aku sudah tidak bisa menyapa dia lagi, bahkan satu kereta denganku saja rasanya
tidak bisa dengan wajahnya yang begitu sudah kubaca. Batinku tetap berteriak. Namun
aku membiarkannya saja. Aku hanya bisa tersenyum disana, melihatnya yang diam
terduduk dengan kepalanya yang mengarah ke arah tempat duduk Ferdi yang masih
kalut dengan headset yang terpasang.
Laki-laki
itu, yang tadi membangunkanku, berbicara kepada teman lelakinya dengan topik
yang sangat apik. Hanya dia saja, yang terdiam, sesekali memandang
handphone-nya. Bahkan baju yang biasa dia pakai masih di pegang olehnya. Waktu
jalan denganku, dan pakaian yang itu dan tidak tahu apa itu namanya. Baju yang
mungkin seperti jas, lalu di samping kedua tangannya, terbelah-belah berwarna
biru gelap.
Kereta
tak lama kemudian sampai di tempat arah tujuanku, Bojong Gede. Aku segera turun
dan kepala menoleh ke arah belakang melihatnya yang masih angkuh dari wajahnya.
Kuhembuskan napasku dan menapaki kakiku di stasiun ini. Bersama Seto dan
disusul temanku yang lain. Kereta sejenak menutup pintunya dengan otomatis, dan
berjalan lagi dan aku tidak tahu dia akan turun di stasiun mana. Cilebut? Atau Bogor?
Bojong Gede habis hujan tadi, becekkan air terlihat dimana-mana. Dan dua
petugas yang memegang peluit yang dibunyikan saat kereta lewat untuk
mengantarkan calon penumpang ke Jakarta Kota. “Fer, gue ketemu dia tadi.” Aku
mulai menjelaskan, bahkan dia sedikit tidak tahu. “Siapa?”
“Orang
yang pernah gue ceritain ke elu.” Kataku, berjalan ke arah loket untuk
menukarkan kartu ini menjadi uang sepuluh ribu.
“Oh…
dia. Emang dia ada disana?” tanyanya. Kami berempat keluar dari stasiun Bojong
Gede dengan membawa uang sepuluh ribu yang barusan ditukar.
“Ya,
tempatnya gak jauh dari gue.”
“Gue
tadi liat, kok. Tatapannya kayak gimana gitu. Jadi itu orangnya, toh.” Ucap
Seno menyusul.
Motor
yang diparkir khusus untuk penumpang yang tidak mau cape, dikeluarkannya motor
Ferdi yang kutumpangi tadi semenjak berangkat dari rumahnya menuju ke stasiun
kereta. Membayarnya ke penjaga parkir tersebut, lalu mengendarai motornya
menuju arah pulang. Aku masih memikirkannya tadi, yang secara jelas-jelas masih
dalam ingatan. Bertemu dengannya, dan tidak menyapanya karena aku yang begitu kaku.
Dan hari
senin mempersiapkan kondisi tubuhku untuk mengambil rapot semester pertama yang
berakhir di bulan Desember. Sejenak, motor meninggalkan stasiun ini, dengan
bekas dia yang masih didalam kereta yang meninggalkan di stasiun Bojong Gede. “I’m
hoping now, maybe not. But, I find you in train. I don’t know
you’re go. I want
said sorry for you. But how? This not easy, I broke relationship friend because
me. Because my heart.” Dan… Aku meninggalkan stasiun itu dengan memikirkannya.
END