Powered By Blogger

Monday 28 December 2015

Kelu Saat Menayapa

December, 20, 2015
Orang-orang begitu ramai di dalam kereta ini, kereta yang akan menuju ke arah Bogor. Bojong Gede tempat aku akan turun disana. Aku bisa lega sekarang, bisa duduk di kursi yang empuk sehabis berjalan seharian di kota Jakarta. Hingga sore ini. Buku RUMAH BAMBU yang sejak tadi kubaca, kupegang sesaat waktu tubuhku merasa rileks untuk duduk sembari membaca. Buku kumpulan cerpen yang memasuki cetakan ke-enam di tahun 2012 cukup membuang mood ku yang bosan. Dan ini kudapatkan di sebuah obral buku yang murah.
            Bab mulai dibuka dengan judul ‘Colt’, dan di pertengahan mulai kantuk menyapa. Kupaksa untuk membaca, tak bisa. Disamping, temanku yang semenjak tadi, menemani ke kota Jakarta. Tak hanya berdua, bahkan kami berempat kesana. Hanya sekedar mencari kesegaran dan ketenangan, begitu kata Ferdi. Dia duduk yang tak jauh dari aku walau terpisah, dengan kedua headset yang terpasang dan pandangan kedua mata yang fokus ke gadget-nya. Satunya lagi, Seto, ada di tempat yang berbeda. Namun bisa terlihat disana. Aku mulai menutup mata, buku yang dipegang mulai kutaruh di kedua pangkal pahaku.
            Gelap semua dengan suara kereta dan keriuhan orang-orang yang berbicara, dan pula juga ada yang diam. Sedikit-sedikit mulai terbawa arus ke alam tidur. Mulai nyenyaklah aku sekarang, memutuskan beristirahat sebentar sebelum suara pemberitahuan stasiun kereta yang berbunyi beberapa menit perjalanan.
            Tadinya, ke sebuah festival Stars Wars begitu membuat aku tenang dengan adanya Action Figure disana. Aku tak tahu, sebelum aku berjalan ke Senayan City dari mall fX berjalan kaki. Aku merasa ini langkah yang begitu dekat. Walau pulang-pulangnya hujan-hujanan untuk kembali ke jalan raya mencari bis dan ke Sudirman stasiun untuk pulang.
            Aku lupa tidak membeli kopi di Starbucks hanya sekedar mencicipi di dalam kereta. Bibirku dan juga tenggorakan sepertinya mau kering. Dan juga versi sembari membaca buku RUMAH BAMBU yang beberapa minggu lalu kubeli. Ketika di rumah, mungkin terasa tenang jika kedua orang tuaku dan adik-adikku pada pergi. Kopi dari Starbukcks, buku RUMAH BAMBU, atau tidak menayangkan serial TV untuk sekedar iseng-iseng. Atau ditambah, kartun yang selalu kutonton di sebuah TV kabel langganan yang pernah aku gunakan, Cartoon Network.
            Sekarang, hari yang kurasakan masih dirasakan. Handphone sudah tidak punya. Sudah satu bulan ini semenjak bulan November handphone rusak karena terkena air hujan waktu pulang sekolah. Mungkin memang bodoh. Aku mengutuki diriku itu. “Handphone makanya dijaga, enak, kan gak punya handphone.” Ucap Ayahku, ketika kuberitahukan info ini ketika ia sedang menikmati baca surat kabar Media Indonesia yang dibacanya.
            “Mau bagaimana lagi, Yah. Namanya juga kebawa suasana.” Balasku.
            “Semestinya, kamu kalau ada akal, handphone kamu taro di plastik, biarin tas kamu basah sama buku pelajaran kamu, yang penting komunikasi itu.”
            Sudah dua tahun kupegang handphone Android mini Samsung yang biasa kupakai hanya sekedar internet atau membuka media social yang aku buka otomatis tidak Log in-berapa menit-log out. 2013-2015. Sudah pastinya ini masa berakhirnya. Tak ada musik yang selalu aku dengarkan dari band Good Charlotte, Maroon 5, atau grup band lama seperti The Beatlles. Tak ada juga media social untuk sekedar menyapa teman-teman lama lewat mention Twitter, atau Instagram melihat kreativitas foto-foto yang dipajang disana.
            “Woy, bangun. Woy…” Tepukan pundak di pahaku membuat aku terbangun dengan mata yang memerah. Ganggu aja orang lagi tidur, gerutuku. Kulayangkan pandangan ke seorang laki-laki dengan memakai snapback dengan tatapan menatapku. Kubangunkan tubuhku dan tidak menjawab dari orang itu, seorang Ibu-ibu mulai duduk di tempat sebelah temanku yang tenang sekali tidur. “Heran, kenapa gak dia aja, sih.” Gerutuku lagi, buku RUMAH BAMBU mulai kupegang. Berdiri, dan memegang bundaran kecil menggantung untuk melindungi diri dari kereta yang berhenti mendadak, atau berjalan pelan walau tubuh bergoyang ingin jatuh.
            Sejenak, aku pindah ke lorong kecil yang berjalan kalau mau pindah ke bagian lain untuk mencari tempat duduk kalau sedang kosong. Aku tepat berdiri di dalam lorong kecil dengan didepan temanku yang mendengarkan lagu lewat headset. Didalam lorong ini, sungguh goyang-goyang selama kereta berjalan. Ketika sedikit loncat, aku terbawa, bergoyang pun sama. Lama-lama, buku RUMAH BAMBU kutaruh didalam tas. Kuletakkan tas itu didepan dengan kedua tali tas yang menggantel masih di kedua bahuku. Salah satunya untuk mencari keamanan, hanya tas digantel dengan bagian belakang berpindah kedepan.
            Aku hanya terdiam sekarang. Berdiri. Menunggu pemberitahuan akan sampai ditempat tujuan. Tak sampai beberapa aku terdiam, kucoba menoleh ke arah kanan sesaat. Tatapan kulihat itu menoleh ke arah kanan lagi, dan kucoba pandangi seorang perempuan itu. Sosok yang kukenal. Dengan menampakkan wajahnya sedikit, aku betul-betul mengenai perempuan itu. Perempuan yang dahulu sama-sama berteman di masa SMA. Tiga tahun lamanya, dan sekarang pun mulai agak renggang, bahkan dari satu sama lain seperti orang asing.
            Memang, tak tahu kenapa aku bisa punya perasaan terhadapnya. Gak tahu kenapa ini semua bisa aku rasakan. Terakhir, aku begitu mengungkapkannya. Lalu sejenak, dia menjilati perkataannya sendiri dengan berhubungan oleh laki-laki lain. Terlebih dari temanku sendiri. Aku begitu tak menyangka bisa bertemunya, perasaan ini masih kupendam untuknya. Sesaat suara hati berbicara, “Sapa dia, Aflaha. Sapa.” Namun entah kenapa ini begitu kaku untuk sekedar bilang, “Hai, Win” atau, “Hai, ngapain lo disini.”
            Sekarang, sudah tidak seperti itu lagi. Dulu aku dan dia, sama-sama saling menyapa. Bahkan sekarang, aku dan dia sama-sama jauh. Tak ada percakapan yang lebih seru lagi. Karena ada dia, seorang laki-laki yang baru yang membuatnya terbawa suasana dalam topik pembicaraan. Bahkan aku memarahi diriku sendiri. Tangan Ferdi mengaba untuk aku duduk di sebelahnya yang kosong, aku menolaknya. Karena apa, karena ada dia. Walau jaraknya agak sedikit dekat, dan tidak kusangka juga dia duduk dengan papasan dengan kursi yang aku duduki tadi selama perjalanan berlangsung. I meet you again, I’m need a conversation about everything, and he’s changed.
            Dia memang telah berubah, dan aku sekarang hanya berdiam diri lagi, menatapnya, seolah-olah aku mengetahui dulu yang sama-sama saling bicara. Sekarang sudah tidak. Dari tatapannya saja, sudah terbaca. Cuek, dan seperti tidak mengenaliku lagi. “Kamu bahkan gak tahu bahwa aku masih menyimpan ini semua,” batinku. Harapanku sekarang hanya bisa kupendam. Kuingin bicara lagi, dan kuingin mengatakan semuanya. Aku merasa, ini sudah percuma.
            Masih sering bertemu di sekolah, tak ada menyapa lagi. Bahkan satu kantin saat dimulainya UAS di bulan Desember. Aku hanya membeli makanan bersama temanku sembari berbicara sedikit-sedikit. Lalu tatapan ke arahnya. Yang makan berhadapan dengan seorang itu. Temanku sendiri.
            Yeah, I know but this my heart, not lie. Not lie. I want to said love for you. Actually… this never time for me. Sesaat aku sudah tidak bisa menyapa dia lagi, bahkan satu kereta denganku saja rasanya tidak bisa dengan wajahnya yang begitu sudah kubaca. Batinku tetap berteriak. Namun aku membiarkannya saja. Aku hanya bisa tersenyum disana, melihatnya yang diam terduduk dengan kepalanya yang mengarah ke arah tempat duduk Ferdi yang masih kalut dengan headset yang terpasang.
            Laki-laki itu, yang tadi membangunkanku, berbicara kepada teman lelakinya dengan topik yang sangat apik. Hanya dia saja, yang terdiam, sesekali memandang handphone-nya. Bahkan baju yang biasa dia pakai masih di pegang olehnya. Waktu jalan denganku, dan pakaian yang itu dan tidak tahu apa itu namanya. Baju yang mungkin seperti jas, lalu di samping kedua tangannya, terbelah-belah berwarna biru gelap.
            Kereta tak lama kemudian sampai di tempat arah tujuanku, Bojong Gede. Aku segera turun dan kepala menoleh ke arah belakang melihatnya yang masih angkuh dari wajahnya. Kuhembuskan napasku dan menapaki kakiku di stasiun ini. Bersama Seto dan disusul temanku yang lain. Kereta sejenak menutup pintunya dengan otomatis, dan berjalan lagi dan aku tidak tahu dia akan turun di stasiun mana. Cilebut? Atau Bogor? Bojong Gede habis hujan tadi, becekkan air terlihat dimana-mana. Dan dua petugas yang memegang peluit yang dibunyikan saat kereta lewat untuk mengantarkan calon penumpang ke Jakarta Kota. “Fer, gue ketemu dia tadi.” Aku mulai menjelaskan, bahkan dia sedikit tidak tahu. “Siapa?”
            “Orang yang pernah gue ceritain ke elu.” Kataku, berjalan ke arah loket untuk menukarkan kartu ini menjadi uang sepuluh ribu.
            “Oh… dia. Emang dia ada disana?” tanyanya. Kami berempat keluar dari stasiun Bojong Gede dengan membawa uang sepuluh ribu yang barusan ditukar.
            “Ya, tempatnya gak jauh dari gue.”
            “Gue tadi liat, kok. Tatapannya kayak gimana gitu. Jadi itu orangnya, toh.” Ucap Seno menyusul.
            Motor yang diparkir khusus untuk penumpang yang tidak mau cape, dikeluarkannya motor Ferdi yang kutumpangi tadi semenjak berangkat dari rumahnya menuju ke stasiun kereta. Membayarnya ke penjaga parkir tersebut, lalu mengendarai motornya menuju arah pulang. Aku masih memikirkannya tadi, yang secara jelas-jelas masih dalam ingatan. Bertemu dengannya, dan tidak menyapanya karena aku yang begitu kaku.
            Dan hari senin mempersiapkan kondisi tubuhku untuk mengambil rapot semester pertama yang berakhir di bulan Desember. Sejenak, motor meninggalkan stasiun ini, dengan bekas dia yang masih didalam kereta yang meninggalkan di stasiun Bojong Gede. “I’m hoping now, maybe not. But, I find you in train. I don’t know you’re go. I want said sorry for you. But how? This not easy, I broke relationship friend because me. Because my heart.” Dan… Aku meninggalkan stasiun itu dengan memikirkannya.


                                                            END