Powered By Blogger

Friday 28 August 2015

Mpok Ameh: Teman Curhatku



Bagaimana perasaanmu suatu saat, seseorang yang kau dekat, bahkan menurutmu, dia asik dan meyenangkan dalam hal bicara, sekarang telah tiada yang senantiasa membuatmu terhibur? Tak percaya? Ya, bagiku memang begitu. Semenjak sosok yang membuatku terhibur, dialah sosok yang membuatku senang setiap saat. Bahkan, sama seperti teman sebayaku. Namun kini, dia adalah sosok perempuan berumur sekitar 30-an lebih, berbadan gemuk, dan selalu membantu pekerjaan di rumah orang.
            Mpok Ameh yang begitu kukenal, aku mengenalnya waktu aku di zaman kelas 2 SMP. Dan ada liburan semester panjang selalu aku mengunjung rumah sepupu untuk menginap selama satu minggu. Dahulu sebelum ada Mpok Ameh, ada sosok seorang pembantu yang bernama Nia. Sekarang dia tidak bekerja disitu lagi, melainkan info yang aku dapatkan, dia bekerja sebagai karyawan toko kue.
            Setiap pagi maupun siang, Mpok Ameh selalu datang mengunjungi rumah sepupuku untuk siap bekerja. Membantu mencuci pakaian, memasak makanan, bahkan menggosok pakaian yang sudah kering sehabis mencuci. Bagiku Mpok Ameh sosok yang ramah, dalam hal berbicara dialah sosok yang banyak menggenang tawa. Baru kali ini aku merasakan seakrab oleh seorang Ibu-ibu yang tidak memiliki sang suami.
            “Dulu Mpok Ameh masih kecil, Zal. Mpok Ameh dulu pernah manggung kayak lagu-lagu dangdut gitu. Pas mau ditawarin rekaman, eh bagian produsernya itu nakal banget. Yaudah gak Mpok Ameh ambil.” Ucapnya dengan ramah, aku menanggapinya. Apakah pandai bernanyikah ia? Apakah ia dahulu bisa menanyikan sebuah tembang lagu dangdut tersebut? Aku ingi tahu lebih lanjut lagi.
            “Berarti Mpok dulu jago nyanyi, dong?” tanyaku kemudian.
            “Iya, tapi dulu. Kalau sekarang mah, enggak.” Jawabnya.
            Bercerita dan setiap saat aku selalu bertemu dengannya, tak lepas dari ucapan yang kami keluarkan untuk menceritakan sesuatu. Saat aku menceritakan seorang perempuan yang aku sukai, namun aku hanya bisa mengaguminya dari jauh, kenal pun saja tidak. “Cantik, Zal. Kayak keliatan manja gitu dari wajahnya, kenapa gak kamu pacarin aja, Zal?” tanyanya. “Kalau kamu pacarin, kan, kalau kamu jalanin bisa sampe pelaminan, itu kalau jodoh ya, hahahahahha….”
            Aku hanya bisa ikut tertawa, tertawa dan tertawa ketika kami berdua bercerita. Sesosok pulalah dia yang aku anggap perempuan tegar dan kuat. Yang kuketahui, saat dirumah tidak ada bahan untuk memasak, Mpok Ameh membeli makanan kecil yang dijual di warung saat matahari kian menyengat di siang hari. “Kamu mau apa, Zal? Mau rendang? Kan kamu suka rendang?” tawarnya, aku memilih rendang karena itulah makanan kesukaanku semenjak di kelas 6 SD. “Itu saja tidak apa-apa, Mpok.”

                                                                                    ***

Malam yang begitu masih Mpok Ameh disana, Mpok Ameh dan aku sama-sama makan ketika sepupuku yang perempuan, Rina, hendak bepergian bersama teman satu sekolahnya. Kami masih saja terus bercerita dan bahkan Mpok Ameh selalu membicarakan tentang darahnya anak muda. Cerita yang pernah ia alaminya semasa muda.
            “Kalau anak muda mesti hati-hati, Zal. Kalau salah jalan, bahaya.” Katanya. “Apalagi kalau Narkoba, sakau aja kamu udah kayak orang mau mati. Jangan, deh. Kasian Bapak nyari duit.” Aku mengangguk, mendengar semua ucapannya yang kini aku kembali membalasnya dengan topik lain. Topik yang Mpok Ameh bicarakan, pernah suatu ketika Mpok Ameh membicarkaan tentang keagamaan, misterinya sebuah kematian.
            “Kita, mah, hanya bisa pasrah, Zal. Selagi kita usaha di jalan yang bener.” Katanya.
            “Iya, sih, Mpok. Aku tau itu.”
            “Yang penting, mah, banyak ibadah aja pokoknya.”
            “Itu memang sudah amanatnya, Mpok.”
            Mpok Ameh bertempat tinggal yang tidak jauh dari rumah sepupu di kota Depok, hanya berjalan kaki pun sampai. Dia tidak pernah mengeluh dalam bekerja, walaupun hanya sebatas membantu di rumah orang. Tak hanya di rumah sepupuku saja, bahkan di rumah orang pun cepat ia kerjakan. Apapun pekerjaannya itu. “Semasa halal, Mpok Ameh selalu jalanin, Zal. Makanya, kamu kalau udah kerja, cari kerja yang bener, nabung, kan masa depan udah ada yang ngatur sama yang diatas.” Ucapnya suatu ketika.
            Mpok Ameh seperti seorang motivasi selain berbicara secara topik yang mengena yang patut kami bicarakan. Bicara tentang politik saja pun dia tanggapi, Mpok Ameh selain pekerjaannya hanya pembantu di rumah orang, wawasannya pun sangat luas. Tak jarang aku menemukan sosok seorang Ibu yang tidak memiliki seorang suami yang tahu arti segala hal dalam kehidupan. Musik, Film, Karangan sebuah cerita, sebuah lukisan ternama, bahkan dunia-dunia yang penuh dengan tanda-tanya yang selalu masuk ke Koran pun selalu dia keluarkan.
            Di kala aku sepi tanpa seorang teman yang menemani, sosok Mpok Ameh inilah yang sama sekali persis dengan teman sebayaku. Meskipun dari umur yang berbeda, dari cara berbicaranya pun sangat lugas bak seorang anak-anak muda yang penuh dengan hidup pergaulan di masa-masa sekarang ini. Tak menyangka, hingga selama dua tahun bertemu dan kembali berbicara, dia selalu memanggil kalau aku benar-benar berada di rumah sepupu yang hendak kukunjung. “Rizal!”

                                                                        ***

Begitu juga pada akhir tahun 2012, semuanya berkumpul ria untuk menyambut pergantian tahun. Ada yang membakar ayam yang digandrungi anak-anak sebaya denganku, ada yang berbicara dengan tertawa keras sesambil menghisap batang rokok yang mereka nikmati, juga beberapa yang hanya terbaring tenang di sebuah acara TV.
            Mpok Ameh ikut dengan kami pada waktu tahun akhir 2012, mengikuti pergantian tahun bersama. Dia sengaja membagi waktu untuk ikut berkumpul disana. Lalu dengan riangnya, dia berbicara bersama seorang yang sepantaran dengannya, mulai dari Ibu kandungku, hingga Ibu saudara sepupu yang beramai-ramai berkumpul disana. Tak juga, anak-anak kecil yang bermain di ruang tamu dengan permainan yang mereka punya.
            Mpok Ameh dibelakang yang sehabis berbicara, lalu membuatkan sambal untuk penambahan disaat menikmati sesi makan ayam bakar yang sudah 5 ayam yang sudah jadi bahkan baru diangkat dari panggangan.
            “Sambel buatan Mpok Ameh, Zal. Tinggal berapa ayam lagi yang mau dipanggang?”
            “Masih ada empat ayam lagi, Mpok.” Jawabku dengan mengipas-ngipas ayam yang masih dalam tahap pemanggangan.
            “Oke, cobain, Zal sambel Mpok Ameh.”
            Tengah malam yang masih jam 11, beberapa dari anggota sepupu Ayahku sudah membawa petasan air mancur yang siap mereka luncurkan bersamaan di jam 12 tepat pergantian tahun 2013. Lalu kemudian, kami menikmati ayam bakar yang sudah dipanggang bersama, lalu menikmati sambal dari Mpok Ameh.
            “Enak, Mpok sambelnya.” Pujiku, memang enak sekali di lidah dengan campuran ayam bakar yang sudah matang.
            “Yalah, nanti Zal, kapan-kapan Mpok bikinin lagi kalau Rizal masih disini.” Jawabnya dengan menikmati daging-daging ayamnya.
            Derusan angin yang begitu membuat sekujur tubuh menjadi dingin selayaknya es yang menempel. Detik-detik pergantian tahun berhasil dengan cepat, peluncuran petasan air mancur yang menembaki ke langit sebanyak sebelas kali. Lalu berbarengan dengan ledakan air mancur yang ikut meluncur ke penjuru langit malam. Inilah yang dinamakan pergantian tahun yang begitu memenuhi momen setiap yang ada. Yang patut diisi dan dikenang sepanjang masa.

                                                                        ***

Seakrab-akrab ku dengan Mpok Ameh, yang aku jadikan teman seperti teman sebaya yang ada. Sosok Mpok Ameh lah yang selalu dicari yang selalu menemani setiap saat. Mengobrol, bahkan selalu penuh canda dalam pengobrolan sebuah topik-topik yang ada.
            Sekitar pada tahun 2013 pertengahan, yang selalu bertemu dan selalu mengobrol kembali dengan penuh canda lagi. Mpok Ameh mengidap penyakit kanker, aku tidak tahu kanker apa yang menyerangnya dan sudah memasuki stadium ke berapa ia. Sesaat itulah, yang kudapatkan dari informasi-informasi yang ada. Namun, beberapa minggu kemudian, yang membuatku sedih ialah: Mpok Ameh telah tiada. Aku masih merasakannya, disaat aku masih berbicara dengannya, dan itu aku tidak ada di rumah sepupu, hanya saja aku mendapatkan info ini dari Rina.
            Aku memang tidak bisa melihat pemakaman terakhir Mpok Ameh yang telah meninggalkan dunia dengan penuh canda yang aku lakukan dengannya. Dan Mpok Ameh sejenak menghadap sang pencipta dan hidup tenang di alam sana. Kembali, Mpok Ameh adalah salah satu bagian dimana aku bisa curhat dengannya, dan selalu ia memberikan motivasi setiap saat. Dan aku masih mengingatnya, meskipun tak percaya sesosok Mpok Ameh yang telah tiada. Namun dalam kenangan yang ada, semenjak ia sudah tiada, aku sudah tidak bisa lagi merasakan berbicara ramah tamah dengannya, selalu dan setiap saat.

                        “Selamat jalan Mpok Ameh, teman curhatku, yang selalu berbicara penuh canda setiap saat. Semoga Mpok diterima di sisinya, dan selalu hidup tenang di alam sana. Sosokmu, tak akan pernah kulupakan, semasa hidupku yang aku lanjutkan misi-misiku disini.”
           

Sunday 16 August 2015

Sekilas Kopi Hitam




Kau tau? Kalau minuman kopi itu, bisa dibilang, kita itu ialah “Kakek-kakek” atau “Bapak-bapak”? Pasti banyak yang bilang, apalagi aku. Yang kalau ada mood ingin meminum biji hitam tumbuhan itu, aku segera membuat. Kopi hitam? Berapa kali aku pernah mencoba biji hitam, nan pahit dengan ditambah gula dengan selera kita sendiri?
            “Kopi hitam itu, kalau lebih bagusnya, gak pake gula. Biar bisa tau, pahit manis yang ada didalam kopi itu.” Ucap my brother, Fikri. Ya, bisa dibilang memang seperti itu. Tapi, ketika kupikir-pikir, memang ada benarnya juga. Pahit? Bagiku aku memang tidak terlalu suka dengan yang pahit. Selalu ingin yang manis. Selain kopi susu juga kopi berkaramel yang ada didalam takarannya itu. Selalu kucoba dengan kopi dengan nikmatnya taburan rasa itu.
            Dengan kopi hitam, sekilas kopi yang dahulu, pernah ada seorang tentara Belanda yang suka dengan kopi itu. Meskipun aku tak terlalu tau, atau mungkin lebih dikenal dengan mengocek-ngocek sejarah-sejarah Belanda. Apalagi zaman minuman kopi yang pasti, aku memang mengarang. Kalau beneran, tak mengapa. Kalau salah, ya mungkin kurang lebih mendetail dengan apa yang ada.
            Tak seperti kopi-kopi buatan ciptaan negeri di pangkuan Ibu Pertiwi. Seperti hal-nya kafe-kafe yang menyajikan kopi-kopi rasa maupun kopi hitam dengan gaya luar negeri atau(asing). Kafe yang membuat orang yang lebih, suka ketimbang dengan kopi rumahan. Ya, meskipun masih ada yang belum tentu semua manusia lebih suka kopi di kafe ketimbang kopi rumahan.
            Ketika mencoba, aku pernah mencoba Americanno Black Coffee. Alhasil, ketika aku tak mencoba untuk tidak memakai gula terlebih dahulu. Pahitnya tentu beda, tidak seperti pahit seperti kopi bubuk, dibagian bawahnya yang ditindih cairan yang bercampur hitam itu. Masih ada bubuknya. Pahitnya memang begitu khas asing sekali. Dengan begitu, aku memakai gula dengan dua sachet untuk memaniskan suasana. Terlebih mencoba tiga kali minum. Membuatku hanya mengeluarkan lidah dengan rasa ingin memuntahkan apa yang ada didalam perutku.
            Kopi hitam yang selalu kucoba, tidak terlalu sering, bahkan ketika mood ingin minum kopi ada. Aku segera menuntaskannya. Terlebih kalau tidak ada mood ingin meminum bubuk biji tumbuhan itu, terlebih aku hanya membuat raukan tumbuhan yang berubah menjadi minuman teh manis dari alam itu.