Bagaimana perasaanmu
suatu saat, seseorang yang kau dekat, bahkan menurutmu, dia asik dan
meyenangkan dalam hal bicara, sekarang telah tiada yang senantiasa membuatmu
terhibur? Tak percaya? Ya, bagiku memang begitu. Semenjak sosok yang membuatku
terhibur, dialah sosok yang membuatku senang setiap saat. Bahkan, sama seperti
teman sebayaku. Namun kini, dia adalah sosok perempuan berumur sekitar 30-an
lebih, berbadan gemuk, dan selalu membantu pekerjaan di rumah orang.
Mpok Ameh yang begitu kukenal, aku
mengenalnya waktu aku di zaman kelas 2 SMP. Dan ada liburan semester panjang
selalu aku mengunjung rumah sepupu untuk menginap selama satu minggu. Dahulu
sebelum ada Mpok Ameh, ada sosok seorang pembantu yang bernama Nia. Sekarang
dia tidak bekerja disitu lagi, melainkan info yang aku dapatkan, dia bekerja
sebagai karyawan toko kue.
Setiap pagi maupun siang, Mpok Ameh
selalu datang mengunjungi rumah sepupuku untuk siap bekerja. Membantu mencuci
pakaian, memasak makanan, bahkan menggosok pakaian yang sudah kering sehabis
mencuci. Bagiku Mpok Ameh sosok yang ramah, dalam hal berbicara dialah sosok
yang banyak menggenang tawa. Baru kali ini aku merasakan seakrab oleh seorang
Ibu-ibu yang tidak memiliki sang suami.
“Dulu Mpok Ameh masih kecil, Zal.
Mpok Ameh dulu pernah manggung kayak lagu-lagu dangdut gitu. Pas mau ditawarin
rekaman, eh bagian produsernya itu nakal banget. Yaudah gak Mpok Ameh ambil.”
Ucapnya dengan ramah, aku menanggapinya. Apakah pandai bernanyikah ia? Apakah
ia dahulu bisa menanyikan sebuah tembang lagu dangdut tersebut? Aku ingi tahu
lebih lanjut lagi.
“Berarti Mpok dulu jago nyanyi,
dong?” tanyaku kemudian.
“Iya, tapi dulu. Kalau sekarang mah,
enggak.” Jawabnya.
Bercerita dan setiap saat aku selalu
bertemu dengannya, tak lepas dari ucapan yang kami keluarkan untuk menceritakan
sesuatu. Saat aku menceritakan seorang perempuan yang aku sukai, namun aku
hanya bisa mengaguminya dari jauh, kenal pun saja tidak. “Cantik, Zal. Kayak
keliatan manja gitu dari wajahnya, kenapa gak kamu pacarin aja, Zal?” tanyanya.
“Kalau kamu pacarin, kan, kalau kamu jalanin bisa sampe pelaminan, itu kalau
jodoh ya, hahahahahha….”
Aku hanya bisa ikut tertawa, tertawa
dan tertawa ketika kami berdua bercerita. Sesosok pulalah dia yang aku anggap
perempuan tegar dan kuat. Yang kuketahui, saat dirumah tidak ada bahan untuk
memasak, Mpok Ameh membeli makanan kecil yang dijual di warung saat matahari
kian menyengat di siang hari. “Kamu mau apa, Zal? Mau rendang? Kan kamu suka
rendang?” tawarnya, aku memilih rendang karena itulah makanan kesukaanku
semenjak di kelas 6 SD. “Itu saja tidak apa-apa, Mpok.”
***
Malam
yang begitu masih Mpok Ameh disana, Mpok Ameh dan aku sama-sama makan ketika
sepupuku yang perempuan, Rina, hendak bepergian bersama teman satu sekolahnya.
Kami masih saja terus bercerita dan bahkan Mpok Ameh selalu membicarakan
tentang darahnya anak muda. Cerita yang pernah ia alaminya semasa muda.
“Kalau anak muda mesti hati-hati,
Zal. Kalau salah jalan, bahaya.” Katanya. “Apalagi kalau Narkoba, sakau aja
kamu udah kayak orang mau mati. Jangan, deh. Kasian Bapak nyari duit.” Aku
mengangguk, mendengar semua ucapannya yang kini aku kembali membalasnya dengan
topik lain. Topik yang Mpok Ameh bicarakan, pernah suatu ketika Mpok Ameh membicarkaan
tentang keagamaan, misterinya sebuah kematian.
“Kita, mah, hanya bisa pasrah, Zal.
Selagi kita usaha di jalan yang bener.” Katanya.
“Iya, sih, Mpok. Aku tau itu.”
“Yang penting, mah, banyak ibadah
aja pokoknya.”
“Itu memang sudah amanatnya, Mpok.”
Mpok Ameh bertempat tinggal yang
tidak jauh dari rumah sepupu di kota Depok, hanya berjalan kaki pun sampai. Dia
tidak pernah mengeluh dalam bekerja, walaupun hanya sebatas membantu di rumah
orang. Tak hanya di rumah sepupuku saja, bahkan di rumah orang pun cepat ia
kerjakan. Apapun pekerjaannya itu. “Semasa halal, Mpok Ameh selalu jalanin,
Zal. Makanya, kamu kalau udah kerja, cari kerja yang bener, nabung, kan masa
depan udah ada yang ngatur sama yang diatas.” Ucapnya suatu ketika.
Mpok Ameh seperti seorang motivasi
selain berbicara secara topik yang mengena yang patut kami bicarakan. Bicara
tentang politik saja pun dia tanggapi, Mpok Ameh selain pekerjaannya hanya
pembantu di rumah orang, wawasannya pun sangat luas. Tak jarang aku menemukan
sosok seorang Ibu yang tidak memiliki seorang suami yang tahu arti segala hal
dalam kehidupan. Musik, Film, Karangan sebuah cerita, sebuah lukisan ternama,
bahkan dunia-dunia yang penuh dengan tanda-tanya yang selalu masuk ke Koran pun
selalu dia keluarkan.
Di kala aku sepi tanpa seorang teman
yang menemani, sosok Mpok Ameh inilah yang sama sekali persis dengan teman
sebayaku. Meskipun dari umur yang berbeda, dari cara berbicaranya pun sangat
lugas bak seorang anak-anak muda yang penuh dengan hidup pergaulan di masa-masa
sekarang ini. Tak menyangka, hingga selama dua tahun bertemu dan kembali
berbicara, dia selalu memanggil kalau aku benar-benar berada di rumah sepupu
yang hendak kukunjung. “Rizal!”
***
Begitu
juga pada akhir tahun 2012, semuanya berkumpul ria untuk menyambut pergantian
tahun. Ada yang membakar ayam yang digandrungi anak-anak sebaya denganku, ada
yang berbicara dengan tertawa keras sesambil menghisap batang rokok yang mereka
nikmati, juga beberapa yang hanya terbaring tenang di sebuah acara TV.
Mpok Ameh ikut dengan kami pada
waktu tahun akhir 2012, mengikuti pergantian tahun bersama. Dia sengaja membagi
waktu untuk ikut berkumpul disana. Lalu dengan riangnya, dia berbicara bersama
seorang yang sepantaran dengannya, mulai dari Ibu kandungku, hingga Ibu saudara
sepupu yang beramai-ramai berkumpul disana. Tak juga, anak-anak kecil yang
bermain di ruang tamu dengan permainan yang mereka punya.
Mpok Ameh dibelakang yang sehabis
berbicara, lalu membuatkan sambal untuk penambahan disaat menikmati sesi makan
ayam bakar yang sudah 5 ayam yang sudah jadi bahkan baru diangkat dari
panggangan.
“Sambel buatan Mpok Ameh, Zal.
Tinggal berapa ayam lagi yang mau dipanggang?”
“Masih ada empat ayam lagi, Mpok.”
Jawabku dengan mengipas-ngipas ayam yang masih dalam tahap pemanggangan.
“Oke, cobain, Zal sambel Mpok Ameh.”
Tengah malam yang masih jam 11,
beberapa dari anggota sepupu Ayahku sudah membawa petasan air mancur yang siap
mereka luncurkan bersamaan di jam 12 tepat pergantian tahun 2013. Lalu
kemudian, kami menikmati ayam bakar yang sudah dipanggang bersama, lalu
menikmati sambal dari Mpok Ameh.
“Enak, Mpok sambelnya.” Pujiku,
memang enak sekali di lidah dengan campuran ayam bakar yang sudah matang.
“Yalah, nanti Zal, kapan-kapan Mpok
bikinin lagi kalau Rizal masih disini.” Jawabnya dengan menikmati daging-daging
ayamnya.
Derusan angin yang begitu membuat
sekujur tubuh menjadi dingin selayaknya es yang menempel. Detik-detik
pergantian tahun berhasil dengan cepat, peluncuran petasan air mancur yang
menembaki ke langit sebanyak sebelas kali. Lalu berbarengan dengan ledakan air
mancur yang ikut meluncur ke penjuru langit malam. Inilah yang dinamakan pergantian
tahun yang begitu memenuhi momen setiap yang ada. Yang patut diisi dan dikenang
sepanjang masa.
***
Seakrab-akrab
ku dengan Mpok Ameh, yang aku jadikan teman seperti teman sebaya yang ada.
Sosok Mpok Ameh lah yang selalu dicari yang selalu menemani setiap saat.
Mengobrol, bahkan selalu penuh canda dalam pengobrolan sebuah topik-topik yang
ada.
Sekitar pada tahun 2013 pertengahan,
yang selalu bertemu dan selalu mengobrol kembali dengan penuh canda lagi. Mpok
Ameh mengidap penyakit kanker, aku tidak tahu kanker apa yang menyerangnya dan
sudah memasuki stadium ke berapa ia. Sesaat itulah, yang kudapatkan dari
informasi-informasi yang ada. Namun, beberapa minggu kemudian, yang membuatku
sedih ialah: Mpok Ameh telah tiada. Aku masih merasakannya, disaat aku masih
berbicara dengannya, dan itu aku tidak ada di rumah sepupu, hanya saja aku
mendapatkan info ini dari Rina.
Aku memang tidak bisa melihat
pemakaman terakhir Mpok Ameh yang telah meninggalkan dunia dengan penuh canda
yang aku lakukan dengannya. Dan Mpok Ameh sejenak menghadap sang pencipta dan hidup
tenang di alam sana. Kembali, Mpok Ameh adalah salah satu bagian dimana aku
bisa curhat dengannya, dan selalu ia memberikan motivasi setiap saat. Dan aku
masih mengingatnya, meskipun tak percaya sesosok Mpok Ameh yang telah tiada. Namun
dalam kenangan yang ada, semenjak ia sudah tiada, aku sudah tidak bisa lagi
merasakan berbicara ramah tamah dengannya, selalu dan setiap saat.
“Selamat jalan Mpok Ameh, teman curhatku, yang selalu berbicara penuh
canda setiap saat. Semoga Mpok diterima di sisinya, dan selalu hidup tenang di
alam sana. Sosokmu, tak akan pernah kulupakan, semasa hidupku yang aku
lanjutkan misi-misiku disini.”