Cintaku hanya untukmu
Penulis: Aflaha Rizal
Aku mempunyai
sepasang kekasih di hidupku, namanya rani, gadis cantik berhati lembut tetapi
kini dia direbut oleh orang lain. Saat aku bertemu dengan dia di salah satu
pantai dan matahari yang sebentar lagi mau terbenam. Akupun menyatakannya
dengan hati nurani ku selama ini, “rani, suatu saat aku akan menikahimu, aku
akan membahagiakanmu rani.” Akupun memegang tangannya, dia tersenyum bahagia
dan matanya kini mengeluarkan air mata. Kuusap air mata itu dengan tanganku,
dia pun memegang pipiku.
“iyaa alan, aku mau
menikah denganmu. Tapi-“ jawab dia terputus di kalimat terakhir.
“kenapa rani?”
tanyaku ke dia.
Rani pun kini mengeluarkan air matanya lagi,
kini wajahnya telah dibasahi oleh air matanya. Aku kembali mengusap air mata
itu dengan tanganku. “aku mau dijodohin sama mamaku, mamaku menjodohkanku sama
seorang pengusaha kaya.” Kata rani, hatiku merasa sesak saat dia mau dijodohkan
dengan orang lain itu.
Aku menunduk kepalaku, aku pegang pipi dia
sejenak, “kenapa kamu tega berjodoh dengan orang itu, aku akan membahagiakanmu
rani.” Kini air mataku mulai ikut turun dan membasahi wajahku. Rani pun menutup
mulutnya sambil menggelengkan kepalanya.
“aku gak tau alan,
kalau aku nanti menikah denganmu, aku gak tau kehidupan kita bakalan kaya apa.
Kamu terlalu miskin alan, aku takut.” Ceplos rani.
Hatiku sesak tak lama kemudian, memang aku
hanya seorang lelaki miskin, ibuku hanya seorang petani di sawah, dan ayahku
hanya peternak sapi di kandangnya. Aku, hanya seorang laki-laki miskin dan
mempunyai hobi yaitu menulis, saat itu aku bekerja sebagai tukang cuci piring
di salah satu restoran yang dekat dengan desaku. Dan juga aku digaji lumayan
untuk keperluan hidupku saja. Aku masih memegang tangan rani yang tak lama
tangannya mulai dingin.
“rani, terserah kamu saja. Suatu saat kita
bakalan ada di pelaminan, dan aku akan membahagiakanmu nanti.” Kini kami
menangis bersama-sama, kupeluk rani saat itu, cuaca makin hari kian akan gelap.
Buku tulis yang aku pegang kini mulai jatuh ke tanah, pulpen ku juga jatuh ke
tanah, pelukan kami kini kami lepaskan. Rani masih menangis, “maafkan aku alan,
semoga kamu dapat pasangan yang lebih baik dariku.” Aku mulai menjawabnya, “gak
ada perempuan baik selain kamu rani, kamu wanita yang baik yang dipandang sama
masyarakat sini.” Kataku masih memegang tangan rani.
“masih banyak
perempuan lain disana, percaya sama aku.” Rani memegang wajahku.
Tak lama rani pergi sesekali menutupi
mulutnya, dan masih mengeluarkan tangisannya. Aku mulai meneriakinya dan
mengejarnya. “RANI! Jangan tinggalin aku!!!”. Saat aku berlari, aku dikepung
sama seorang yang memakai jas hitam dengan rapi, aku melihatnya sejenak.
Ternyata ini lelaki yang bakalan jadi suaminya rani nanti. “kamu yang namanya
alan? Jadi kamu yang berani mau nikahin dia, hey! Mikir dong, kamu itu hanya
laki-laki miskin, hidup di tempat kumuh. Kamu mau liat rani hidupnya kotor sama
kamu, gak kan.” Kata dia, seorang pengusaha kaya itu.
Tak lama aku di dorong oleh si pengusaha kaya
itu, aku terjatuh dan tergeletak di tanah. Seorang itu pergi dan merangkul
rani, sesekali rani berteriak, “pergi lelaki miskin, pergi!”. Akupun mulai
meninggalkan mereka yang sebentar lagi mereka akan bahagia di pelaminan, aku
berjalan dan mengambil buku tulisku dan juga pulpenku. Saat aku dirumah, aku
mulai menangis karena aku telah kehilangan sesosok perempuan yang aku cintai. Di malam hari itu, aku mulai menghentikan
tangisanku dan mulai aku menulis kembali. Saat itu, aku mempunyai pekerjaan
dua. 1.) bekerja sebagai cuci piring di restoran yang dekat dengan desaku, 2.)
aku bekerja menulis di salah satu koran di daerah desaku. Saat itu, seorang
ketua yang mempunyai perusahaan koran di desaku, ingin meramaikan korannya
dengan tulisan cerita. Dan aku digaji yang lumayan cukup untuk keperluan orang
tuaku. Aku sudah menulis cerita untuk koran sebanyak 10 tulisan yang ada di
koran itu.
Dengan itu aku mau membantu orang tuaku yang
dilanda kesusahan, mereka berdua bekerja penuh untuk keperluan rumahnya, dan
juga kebutuhannya. Pikiranku masih saja memikirkan rani yang sebentar lagi dia
akan menikah dengan seorang pengusaha kaya itu. Imajinasiku untuk menulis, saat
ini sedang hancur oleh pikiran itu.
Aku mulai menghentikannya walau hatiku sudah
sakit olehnya, aku menghentikannya dan mulai serius untuk menulis di buku
tulisku. Pikiran itu aku buang dengan meminum teh hangat yang sudah aku bikin
pada malam hari itu.
***
Keesokan
harinya, mereka menikah, mereka berdua tampaknya sangat bahagia. Makanan yang
dihidangkan kini mulai diambil oleh tamu-tamu yang datang ke acara pernikahan
itu, dan juga tamu-tamu bersalaman kepada sang pengantin yang sudah resmi jadi
suami istri. Orang tua rani dan orang tua si pengusaha itu nampaknya juga
bahagia. Akupun mendatangi ke acara itu dengan memakai baju yang tidak sepadan
sama mereka, aku hanya memakai pakaian biasa, sedangkan mereka memakai pakaian
yang harganya sangat mahal. Tamu-tamu melihatku dengan tatapan sinis,
seolah-olah aku adalah setan pengganggu di acara pernikahan itu.
Rani tak lama melirikku, kemudian dia
mengeluarkan air matanya, aku melihat rani yang kini dia berdiri di atas
panggung dan dihiasi karpet merah itu. Musik-musik jazz mulai berkumandang, aku
masih melihat rani yang sedang mengeluarkan air mata itu. Dan tak lama, orang
tuanya rani melihatku saat itu, orang tua rani mulai mendatangiku. Ibunya rani
memegang pundakku, “nak alan, silahkan hidangkan makanannya.” Ucap ibunya rani,
aku menundukkan kepalaku dan menjawab dengan hiasan senyum lesu. “gak usah bu,
selamat ya bu, rani sekarang menikah dengan seorang pengusaha kaya.” Aku tersenyum
lesu.
Orang tuanya rani pun tersenyum, “iyaaa,
terima kasih ya nak alan, kenapa kamu hanya sendirian disini? Kenapa orang
tuamu tak diajak untuk datang ke acara pernikahan ini?” ayahnya rani bertanya.
“orang tua
saya sibuk, pak, mereka sedang bekerja.” Jawabku datar.
Mereka pun mengangguk, dan kini mereka
meninggalkanku. “nak alan, kami pergi sebentar, ya. Kami mau foto-foto buat
album pernikahan untuk rani.” Kata ibunya rani tersenyum. Aku pun hanya
mengangguk dan tersenyum.
Pandanganku kini mulai menusuk di bagian
hatiku, hatiku sepertinya ditusuk dengan pisau yang sangat tajam. Perih
rasanya. Kini aku memutuskan untuk meninggalkan acara ini, daripada aku sakit
hati sendirian dan menganggu acara mereka yang sedang berbahagia itu. Rani
sempat-sempatnya melihatku yang kini aku sudah meninggalkan acara itu, dan juga
rani mengeluarkan air matanya. Dan tak lama pundakku ditepuk sama seseorang,
aku membalikan badan ke seorang yang telah menepuk pundakku. Dan ternyata ketua
perusahaan koran di daerah desaku. Dia sedang datang ke acara itu.
“hey alan!”
dia menepuk pundakku.
“pak amir,
hey, tumben anda datang ke acara ini.” Saya tersontak senyum ke pak amir, ketua
perusahaan koran di daerah desaku.
“iyaa, saya
diundang sama ayahnya rani, dia pelanggan setia koran saya.” Jawabnya
tersenyum, dan di tangan kananya dia memegang satu gelas plastik putih berisi
kopi coklat susu yang masih panas.
Dan aku mulai mengeluarkan lembaran kertas
buku tulisku, yang berisi tulisanku yang bakalan diterbitkan di korannya pak
amir. “pak amir, oh iya, ini tulisan saya.” Saya mengasihi lembaran kertas yang
berisi tulisan cerita itu ke pak amir. Pak amir pun tersenyum, dan mulai
meneguk segelas kopi coklat susunya, “ada yang perlu saya omongin, mari, kita
minum kopi dulu.” Ajaknya.
Kini yang tadinya aku mulai meninggalkan
tempat acara pernikahan ini. Dan sekarang aku mulai masuk lagi, itupun karena
pak amir yang mengajakku. Dan di meja dekat dengan musisi jazz yang sedang
bermain musiknya di atas panggung. Aku mulai duduk di meja itu, disitu ada
seorang bapak-bapak berkepala botak, dan janggutnya tipis. Pak amir mulai
memperkenalkanku ke seorang bapak itu. “ini pak, dia yang namanya alan.” Pak
amir memperkenalkanku ke bapak itu.
“perkenalkan,
saya pak didit.” Dia sambil menjulurkan tangan.
“oh iya, saya
alan.” Aku berjabat tangan ke pak didit.
Tak lama pak didit menanyakanku dimana alamat
rumahku, dan menanyakan tentang tulisanku yang sudah lama sekali di publishkan
di korannya pak amir. “saya dan pak amir, sudah berkenalan dengannya sudah
lama, saya ketua percetakan dan penerbit buku di daerah kota jakarta. Saya
tertarik dengan tulisanmu yang tiba-tiba masuk di korannya pak amir.” Akupun
menundukkan kepala, dan kopi coklat pun datang, kini yang melayaninya adalah
seorang waiter di acara itu. “diminum dulu, lan, gak enak kalau udah dingin,
heheheh.” Kata pak amir.
Perbincangan kembali berlanjut, “jadi, pak
didit mau membeli karya tulisan kamu sebesar 500 juta.” Ucap pak amir, akupun
kaget saat itu. “yang diucapkan sama pak amir itu betul, saya ingin membeli
karya tulismu dan di publish ke sebuah buku. Dengan itu, pasti yang membaca
karya tulismu lebih banyak dari yang membacanya hanya di koran saja.” Lanjut
pak didit.
“begini deh, nanti
sehabis dari acara ini, saya ingin berkunjung ke rumahmu.” Kata pak didit.
Akupun hanya mengangguk, dan kamipun
menikmati kopi bersama-sama, dan sesekali mataku melihat ke rani. Saat itu rani
sedang menyuapkan satu buah kue dan menyuapkannya ke suaminya. Suaminya pun
mengusap pipi rani. Hatiku mulai rapuh, aku ingin marah, tapi aku gak mau
merusak kebahagiaan mereka.
Saat aku sudah pulang dari acara itu, pak
didit pun kini ke rumahku, rumahku melewati ladang sawah padi, disana ada ibuku
yang sedang mengurus sawahnya. Sesampainya di rumahku pak didit mulai masuk ke
rumahku, “ini rumahmu, lan?” tanya pak didit, aku spontan tertawa kecil
“hehehehe, iya pak. Silahkan pak diminum teh hangatnya.” Aku membawa satu gelas
teh hangat. Dan tak lama pak didit mulai kembali berbicara tentang masalah
tulisanku yang akan dibelinya.
“jadi, gimana,
saya beli tulisan anda.”
Akupun mulai setuju karena karya tulisku yang
hanya dimuat di koran pak amir kini tulisanku akan di publish ke sebuah buku di
percetakan. “baiklah pak, saya setuju!”, “terima kasih, saya ambilkan surat
kontraknya, tapi suratnya tertinggal di perusahaan kantornya pak amir. Nanti
saya ambilkan dulu.” Katanya.
Dan tak lama pak didit pun datang lagi, dan
membawa selembar surat kontraknya. Dan juga puplennya menancap di kertas surat
kontraknya itu. “silahkan di tanda tangan!” perintah pak didit, saat aku
menandatangani surat kontrak itu, di sebelahku ada ibuku dan ayahku. Ibuku
bingung apa yang aku tanda tangani itu, “nak, itu apa kamu tanda tangani itu?”
tanya ibuku.
“ini surat kontrak
percetakan, ma, jadi karya tulisku dibeli seharga 500 juta.” Jawab ku.
Ibuku tak lama kaget, “500 juta! Gak salah
kamu, banyak sekali alan.” Ibuku tak lama menangis, sehabis aku menandatangani
kontrak itu, aku mulai memeluk ibuku. “jadi, aku bisa memberangkatkan ayah dan
ibu naik haji ke mekkah.” Kataku sambil memeluk ibuku, ayahku pun juga
menangis. Dan pak didit mulai meninggalkan rumahku, dan juga mengajakku untuk
ke pak amir. “alan, saya pergi dulu untuk ke pak amir, kamu mau ikut, sekalian
mau mengambil data-data tulisan kamu di kantornya pak amir?” ajakannya.
Akhirnya aku izin pamit ke orang tuaku yang
masih menangis bahagia, dan aku mulai ke kantor perusahaan korannya pak amir.
Sampainya di kantor pak amir, aku mulai duduk
di ruang kerjanya, dan mengambil setumpuk kertas yang berisi karya tulisku yang
sudah lama aku publish disini. “ini pak didit, ini kertas yang berisi
tulisannya alan.” Pak amir lalu menaruh setumpuk kertas itu di meja kerjanya. Dan
setumpuk kertas itu mulai dimasukkan ke amplop berwarna coklat, tak lama pak
didit mengasihkanku koper tas berwarna hitam. Dan kubuka isinya uang sebesar
500 juta, dan akhirnya pak didit izin pamit pulang ke kota jakarta, dan juga
pamit kepadaku. “saya pamit dulu alan, kira-kira ini membutuhkan proses yang
lama.” Katanya sambil tersenyum, akupun membalas senyumnya lagi.
Dan amplop berwarna coklat itu mulai
dimasukkan di tasnya, dan aku mulai pulang ke rumah dengan membawa tas koper
yang berisi uang itu. Sesampai dirumah, orang tuaku bahagia, dan beberapa hari
selanjutnya aku akan memberangkatkan mereka naik haji.
***
Bulan-bulan
berikutnya, aku telah mempublish bukuku yang berisi karya tulisku, dan juga aku
membaca hasil karya tulisku yang sudah dijadikan buku oleh percetakan, orang
tuaku kini sedang naik haji, bukuku telah dicetak sebesar 50 cetakan, royalti
bukuku lebih dari milyaran. Dengan itu aku membelikan sebuah rumah yang besar
yang dekat dengan desaku. Orang-orang yang bekerja di sawah dekat dengan
rumahku memberikan selamat, karena aku telah sukses. “wah! Selamat ya, nak
alan, engkau sudah sukses sekarang.” Akupun tersenyum ke orang-orang yang
bekerja di sawah dekat dengan rumahku.
Rumah yang kubeli sekarang sudah resmi aku
huni, dan pak amir memberikanku sebuah Laptop kalau aku ingin menulis, “ini
Laptop dari saya, terimalah.” Pak amir memberikan Laptop dan ditaruh di meja
ruang tamuku. “oalah pak! Jadi gak enak saya pak.” Aku tertawa kecil, pak amir
pun tersenyum.
“sudah, kamu itu
sudah jadi orang sukses, dan saya mau memberikan ini kalau kamu sedang
bekerja.” Jawabnya tersenyum.
Akupun berterima kasih ke pak amir, dirumah
hanya aku sendirian, orang tuaku kini sedang menjalani ibadah haji di mekkah. Dan
karena aku bosan dirumah, aku mulai bepergian ke luar rumah untuk jalan-jalan. Dan
tak lama aku menemui sosok seperti rani di sungai, dia sedang duduk dan sambil
membaca buku. Benarkah itu rani? Aku langsung mendekatinya, kuperlihatkan rini
sedang menangis.
“hey!” sapaku
sambil menepuk pundak rini.
Rani pun membalikkan badan, “alan, kamu
ngapain disini?” akupun menjawabnya, “aku gak sengaja menemuimu sendirian
disini, kenapa kamu menangis rani?”, dan akupun mulai duduk di sampingnya. Air
mata rani semakin membanjiri wajahnya, aku usap dengan sapu tanganku. Dan rani
melihatku sejenak, akupun tersenyum. “sudah, jangan nangis.” Aku mulai
menenangkan rini. Dan saat aku mulai berbicara dengan rini kenapa dia menangis,
rani pun cerita, cerita masalah rumah tangganya. Suaminya kini sudah selingkuh
dengan perempuan lain, dan gak segen-segen suaminya ingin menceraikan rani.
Rani sampai saat ini belum dikaruniai satu seorang anak, dirumah rani selalu
kesepian karena suaminya sibuk dengan perusahannya. Dengan itu rani tak pernah
dapat kasih sayang oleh suaminya.
“benarkah kamu mau bercerai rani?” tanyaku,
rani mengangguk dan air matanya kembali membanjiri wajahnya, “iyaa, aku akan
bercerai dengan suamiku. Orang tuaku syok denger suamiku mau bercerai denganku,
mamaku sering sakit-sakitan karena denger perkataan dariku bahwa suamiku ingin
bercerai dariku.” Katanya lagi sambil menangis.
Dan mataku melihat ke sebuah buku, ternyata
dia sedang membaca bukuku, “ternyata kamu sudah sukses sekarang, karyamu diminati
banyak orang.” Kata rani. Akupun ikut tersenyum, sesambil melihat sungai yang
ikannya kini mulai terlihat jelas. “terima kasih rani, sekarang aku bisa
membahagiakanmu, tapi sayang kamu sudah punya suami.” Jawabku, rini kembali
melihatku, yang sedang melemparkan batu-batu kecil ke sebuah sungai. “apakah
kamu masih mencintaiku alan?” tanya dia sejenak.
Lemparan batu-batu yang aku lempar ke sungai,
kini aku hentikan, ku perlihatkan wajah rini, matanya masih berkaca-kaca. “sampai
kapanpun, aku tetap mencintaimu rani. Walaupun sekarang kamu sudah punya
suami.” Jawabku, dan kembali melemparkan batu-batu kecil itu ke sungai.
Tak lama rani memegang tanganku, “alan,
maafin aku, dulu aku pernah menghinamu kamu miskin, maafin aku udah nyinggung
kamu seperti itu,” rini memegang tanganku. Ku genggamkan tangannya, “tak apa
rani, gak usah diperpanjang lagi. Itukan udah dulu.” Jawabku. Rani pun tak lama
tersenyum. Rani tak lama membicarakan tentang keberadaan orang tuaku sekarang,
aku bilang, bahwa kedua orang tuaku kini sedang menjalani ibadah haji di
mekkah. “wah! Selamat ya, akhirnya orangtua kamu bisa naik haji juga.” Jawab
rini.
“jadi dirumah kamu sendiri, dong?” tanya rini
lagi, akupun mengangguk dan tersenyum. Tak lama suara petir pun terdengar
menandakan bahwa sebentar lagi akan hujan, hujan pun turun. Aku mulai mencari
tempat untuk meneduh. Ku gandeng rani saat itu, dan tak lama aku menemukan
sebuah warung yang tak jauh dari sungai itu, aku mulai meneduh disitu bareng
rini. Di warung, seorang ibu-ibu yang sedang menjaga warung, kaget bahwa aku
meneduh di warungnya. “wah nak alan, sudah sukses kamu sekarang.” Kata ibu itu,
akupun tersenyum, dan memesan satu buah gelas teh hangat untuk rani. “kamu gak
minum teh alan?” tanya rani, aku pun menggelengkan kepala, “tak usah rani, kamu
saja yang minum.” Rini pun kembali meneguk teh hangat itu, hujan semakin deras,
petir pun kembali kencang.
Kuambil dua buah gorengan untuk kumakan bersama
rani, memang aku belum makan waktu itu, dan rani pun memakan gorengan itu. “makasih
ya alan, jadi ngerepotin.” Kata dia, “alah! Gak apa-apa kok!” jawabku. Dan
handphone nya rani berbunyi, pertanda telepon dari ibunya, ibunya menanyakan
tentang keberadaan rini dimana. Dan rini bilang, rani sedang meneduh di warung
karena hujan, “aku lagi di warung ma, bareng sama kekasihku.” Ucap rani, akupun
kaget sejenak, apa yang baru rani ucapkan. Dan selama handphone nya masih
menempel di kupingnya, rini menengokku dan tersenyum.
Sehabis rini telepon, rani pun mulai menepuk
pipiku, “kenapa, kaget ya aku bilang kaya gitu?” kata rani sambil tersenyum,
akupun hanya tersenyum dan pandanganku tak berani melihat ke wajahnya rini. Hujan
pun tak lama mulai reda, akhirnya setelah aku membayar teh hangat dan
gorengannya, akupun pulang bersama rini. Di perjalanan pulang kami pun masih
mengobrol, sesampai di rumahnya rini, rini pun pamit. “makasih ya lan, udah mau
nganterin aku pulang.” Rani tersenyum, “iyaaa, sama-sama.” Jawabku.
***
Di bulan juli,
rani pun bercerai dengan suaminya. Rani pun sangat kuat dalam menjalani hidup
ini, waktu itu pak amir sengaja bermain ke rumahku dan tak lama pak amir mulai
membicarakan seputar perceraian rani dengan suaminya, “mereka berdua cerai, loh
ternyata, padahal usia pernikahan mereka baru berapa bulan, belum ada setahun
dua tahun.” Pak amir membicarakan itu sambil menyeruput kopi coklatnya.
“iyaa pak,
saya jadi kasihan melihat rani yang disakitin sama suaminya itu.” Jawabku
sesambil kepalaku bersender di sofa.
“padahal
rani itu cantik loh, baik orangnya, tapi kenapa dia bisa digituin ya sama
suaminya?” kata pak amir.
Akupun kembali duduk tegap di sofa, “katanya
suaminya selingkuh pak, rani cerita dengan saya sudah lama.” Pak amir menaikan
alisnya, dan pandangan matanya melihat ke daerah sekitar rumahku.
“kalian berdua sudah kenal lama dengan rani?”
tanya pak amir, aku menggoyangkan bibirku, dan mencari kata-kata untuk mencari
jawaban yang tepat. “rini sama saya sudah berkenalan dari kecil pak. Dia
orangnya terpandang disini, di desa ini tentunya.” Jawabku tak lama mataku kini
mulai terpejam.
Dan tak lama telepon rumahku berbunyi, dan
aku beranjak dari sofa untuk menuju ke telepon rumah itu yang terbunyi dengan
keras. Kuangkat teleponnya, dan ternyata rani meneleponku, suaranya terisak,
sepertinya dia sedang menangis. “alan, bisakah kamu ke rumahku?” tanya dia
terisak menangis di telepon. Akupun terdiam dan kepalaku tertunduk, aku
menghela nafas panjang, “oke rini, aku akan kesana.” Telepon pun mati, aku izin
ke pak amir bahwa aku disuruh ke rumahnya rini, pak amir pun lalu pulang dan
kembali ke kantornya. “yasudah, kapan-kapan saya bakalan ke rumah kamu lagi,
main-main lah iseng-iseng ke rumah saya. Heheheh.” Kata pak amir.
“hehehehe, iya pak, kalau saya ada waktu, ya
pak.” Jawabku sesambil tertawa kecil, dan aku mulai meninggalkan rumahku dan
pergi menuju rumah rini. Aku berjalan mengitari desa, sesekali pandanganku
melihat sawah tempat bekerjanya ibu. Seorang petani yang sedang bekerja,
memanggilku dari kejauhan, “nak alan, hey!” akupun menyapanya kembali, dengan
teriakanku dan sambil melambaikan tangan. “iyaa pak!”.
Sampai di rumahnya rani, aku mulai
mengucapkan salam, tak lama satpam yang ada di rumahnya rani mendekatiku. “mau
cari siapa, nak alan?” aku mulai bilang ke satpam itu, bahwa aku datang ke sini
untuk menemui rani. Pak satpam pun membuka pagar rumahnya, dan akupun mulai
masuk dan mendekati pintu rumahnya. Aku pegang bel rumah itu, kutunduk
kepalaku, lalu kupencet bel itu. Dan tak lama rini keluar dari rumahnya, dan
menyapaku dengan senyum manisnya. “hey, masuk dulu sini.” Ajaknya, akupun mulai
masuk ke rumahnya, aku mula duduk di sofa. Dan tak lama ibunya rini keluar dan
menuju ke sofa, dia berjalan dengan menggunakan kursi rodanya.
“nak alan, apa
kabar, sudah sukses kamu sekarang. Ibu baca buku kamu loh, ternyata ceritamu
membuat semua orang menangis.” Ucap ibunya rani dan tersenyum.
“hahahahah,
terima kasih bu sudah membaca buku saya.” Jawabku dan membalasnya dengan
senyum.
Rani membawa dua gelas kopi coklat americano
untuk di suguh bersama-sama, “diminun dulu alan, kopi dari luar negeri ini.
Hehehhe.” Sontak ibunya rini, akupun tertawa kecil, dan aku mulai meneguk kopi
yang dari luar negeri itu.
Rani tak lama duduk disampingku,
sampai-sampai ibunya rani melihatnya dengan senyum, akupun malu dengannya.
“sudah, gak apa-apa kok, rini sudah bercerita banyak tentang kamu.” Kata ibunya
rani, rani pun tersenyum ke arahku. Akupun tersenyum malu saat itu, ku teguk
kopi coklat americano itu, rasanya ternyata enak, khas takaran kopinya
benar-benar pas. Manisnya juga gak berlebihan, tak lama mamanya rani
meninggalkan kami berdua. Dan tak lama ada keheningan sebentar, kami sama-sama
meneguk kopi itu.
“ada apa
rani, kamu mengajakku untuk ke rumahmu?” tanyaku ke rani.
Rani tersenyum dan melepaskan tegukan kopinya
itu. “ada yang perlu aku omongin, sehabis ini, kita ke sungai yuk, walaupun
cuacanya panas diluar. Hehehehe.” Jawabnya, aku menurutinya, kopi yang aku
teguk tak lama habis, “hey, sudah habis saja kopinya, enak ya. Hahahah.” Sontak
rani, memang kopi americano benar-benar enak, aku baru pertama kali menyobanya.
“heheheh, iyaa, baru pertama kali aku nyobain.” Kataku.
Dan sehabis itu, kamipun berpamitan sama
ibunya rani, untuk berjalan-jalan sebentar. “yasudah kalian hati-hati, ya.”
Kata ibunya rani.
Kami berdua pun tersenyum, dan saat itu kami
berjalan menuju sungai itu. Di sungai kami mulai duduk yang dekat dengan
sungai. Dan aku kembali melemparkan batu-batu kecil itu ke air sungainnya,
“hey, kamu kaya anak kecil aja lempar-lemparan batu ke sungai. Hehehhe.” Rani
tertawa melihatku yang sedang melemparkan batu-batu kecil itu ke sungai.
“hehehhe,
biarin,” jawabku.
Tak lama rani memegang tanganku, tangan
kananku yang aktif melempar batu-batu kecil
ke sungai. Tak lama dihentikan olehnya, aku menatap rani. “ada apa
rani?” tanyaku sejenak.
Rani mulai membuka pembicaraannya, “alan,
maukah kamu-“ tak lama kalimat terakhirnya putus, aku menaikan alisku, “apa
rani?” aku penasaran, rani menghela nafasnya. Dan mulai mengembuskannya.
“maukah kamu menikah denganku, aku mencintaimu alan.” Kata rani, aku kaget
sejenak. Kami mulai diam sebentar, “aku juga masih mencintaimu, rani.” Jawabku.
Rani pun tersenyum dan tak lama, rani memelukku, “makasih alan, sehabis dari
sini, kita omongin ke ibuku ya.” Jawabnya tersenyum, aku menganggukan kepala
dan tersenyu.
Sehabis dari sungai, kamipun pulang untuk
membicarakan ini ke ibunya, sesampainya di rumah, rani pun mengandeng tanganku.
Aku malu saat itu, “sudah jangan gugup gitu, sebentar lagi kan kita mau nikah.
Heheheh.” Ucap rani. Saat kami masuk ke rumahnya, rani pun menemui ibunya yang
sedang di halaman belakang. Dan rani mulai memeluk kaki ibunya sambil menangis,
dan aku mendekati rani, dan tak lama rani mencium keningku, dan tak lama rani
membicarakan sesuatu dengan ibunya. “ibu, rani akan menikah dengan alan, ibu
menyetujinya?” rani bicara ke ibunya.
Ibunya rani mulai mengusap rambutnya rani,
dan ibunya sambil menangis, “ibu setuju, rani, bagi ibu, alan lelaki yang baik
buat kamu.” Kata ibunya, sambil mengelus rambutnya rani. Dan rani tak lama
memeluk ibunya, “terima kasih, bu. Aku sayang sama ibu.” Akupun masih melihat
rani yang menangis dan memeluk ibunya. Tak lama kepalaku dan kepalanya rani
dipegang dan dielus-elus oleh ibunya rani. Rani pun menundukkan kepala dan
masih mengeluarkan tangisannya.
“ibu mau,
kalian berdua bahagia nantinya, dan juga rani. Ibu mau rani bahagia bersama
alan, semenjak rani disakiti oleh mantan suaminya.” Ibunya rani mengelus
kepalaku dan kepalanya rani.
Aku mulai beranjak dan berdiri, ibunya rani
menatapku. “saya janji bu, saya bakalan bahagiain rani.” Kataku, berjanji
kepada ibunya rani. Dan waktu sudah menuju sore, aku berpamitan dengan ibunya
rani. Ibunya rani bilang, dia akan mengatur semuanya tentang pernikahan aku
dengan rani. Aku mulai menyaliminya, dan aku mulai menuju ke pintu rumahnya
rani. Rani pun mengikutiku, saat aku diluar rumah dan mau pulang rini pun
memegang tanganku tiba-tiba.
“hati-hati, ya alan.”
Rani memegang tangannku.
Aku menganggukan kepalaku, dan tersenyum. Dan
gengaman tangannya pun lepas, rani melambaikan tangannya saat aku menuju pagar
rumahnya. Rani pun masih di teras rumah, saat aku berjalan pulang akupun
melambaikan tangannya. Rani pun kini kembali tersenyum lagi.
***
Bulan september
akupun resmi menikah dengan rani, orang tuaku sangat bahagia, apalagi orang
tuanya rani. Tamu-tamu mulai menyalimi kami, tak lama pak didit bersalaman
denganku “hey penulis, akhirnya nikah juga, hahahaha.” Sontak pak didit. Akupun
tertawa, dan mengucapkan terima kasih udah datang, pak amir pun juga sama menyalimi
kami, tamu-tamu mulai ramai di acara itu. Dan juga, tamu-tamu mulai mengambil
makanannya. Musisi jazz masih bermain musiknya dan menghibur tamu-tamu yang
datang ke acara itu.
Rani menepuk pundakku, “alan, dulu aku pernah
melihat kamu disitu, waktu aku mau foto buat album pernikahan aku, kamu ada
disana. Hiihh, aku nangis tau.” Suaranya yang manja, dan jarinya menunjuk ke
tempat yang waktu itu aku berdiri hampir dekat dengan panggung stage itu.
Aku tersenyum, dan kami bertatapan, “akhirnya
kamu ada di hidupku, rani.” Hatiku berbicara saat kami bertatapan. Kami pun
berdua tersenyum.
Sejak acara pernikahan berakhir, akupun resmi
menjadi suami istri, ibu dan ayahku, yang sudah pulang dari hajinya. Bertinggal
dirumahku, akupun bertinggal di rumah rani, ibunya rani datang pada saat aku
dan rani sedang bercanda-canda di halaman belakang. “nak alan, ada yang mau ibu
bicarakan.” Ucap ibunya rani, ibunya rani menyuruh rani untuk ikut. Aku mulai
menggandeng tangannya. Saat aku duduk dan berhadapan dengan ibunya rani, yang
sampai saat ini masih duduk di kursi rodanya.
“ibu sudah
membeli rumah di jakarta, untuk kamu, dan juga rani. Jadi kalian bisa tinggal
berdua disana.” Kata ibunya rani, dan matanya berkaca-kaca.
“ibu, duh..jadi gak
enak bu, saya kan bisa beli rumah sendiri.” Jawabku.
“sudah, tak apa-apa kok, ibu ikhlas
membelikanmu rumah untuk rani dan juga kamu.” Katanya dengan matanya masih
berkaca-kaca.
Kemudian, rani memeluk ibunya, ibunya
mengeluarkan air matanya. “terima kasih bu, terima kasih.” Lirihnya, ibunya
rani mulai mengusap rambutnya, aku semenjak berdiri dan melihat rani yang
sedang memeluk ibunya itu. Dan sehabis itu, kami berdua akan menempati rumah
itu di ibukota besok. Akupun mulai mengemasi barang-barangku yang ada di
rumahku nanti malam, rani pun juga sama mengemasi barang-barangnya nanti malam.
***
Saat kami sudah
menjadi penghuni rumah di jakarta, aku sedang mengerjakan karya tulisku yang
kedua. Saat itu, pak didit kaget bahwa aku tinggal di jakarta, dan juga pak
didit akan ke rumahku besok hari. Pak amir masih menjadi ketua perusahaan koran
di desanya, aku akan sesekali pulang kampung dan menemui orang tuaku dan juga
pak amir. Ibuku masih bekerja mengurusi lahan sawahnya, ayahku juga sama,
mengurusi peternakan sapi di kandangnya. Tapi dengan itu, aku bakalan mengirim
uang untuk mereka lewat pos, saat aku sedang mengerjakan karya tulisku, rani
sudah tidur di kamar tidurnya, aku perlihatkan sejenak, dia tertidur pulas.
Di jam yang sudah tengah malam, akupun mulai
berhenti nulisnya, dan aku lanjutkan besok. Aku mulai tidur disampingnya,
kulihat raut wajahnya saat itu, ternyata istriku cantik sekali saat sedang
tidur. Aku masih melihat rani yang matanya terpejam dan pulas di tidurnya, tak
lama rani membuka matanya. Dia melihatku dengan bingung, “kamu belum tidur,
alan.” Katanya dengan tatapan bingung.
“belum, aku
gak bisa tidur.” Jawabku tersenyum.
Rani menaiki alisnya, dan tak lama rani
menjawabnya lagi, “kenapa, yaudah paksain tidur aja, udah malem loh.” Lanjutnya
lagi. Aku langsung menarik badannya yang mungil itu, “sttt…” aku mulai
mendekati rani. Aku mulai bertatapan dengan rani, “rani, akhirnya aku bisa
bahagiain kamu sekarang. Beruntungnya aku bisa memilikimu.” Kataku.
Rani tak lama tersenyum, dan tak lama rani
memegang pipiku. “aku juga, aku juga beruntung memilikimu, terkadang
kesalahanku masih terpikir terus di kepalaku.” Jawabnya, “kesalahan apa, kamu
gak punya salah.” Lanjutku. Rani menghirup nafasnya, dan langsung
menghembuskannya.
“aku kan pernah
menghinamu lelaki miskin,” katanya.
“jadi itu yang
masih terpikir di kepala kamu, yasudahlah, kamu buang pikiran itu jauh-jauh.”
Kataku tersenyum.
“iya, aku buang
pikiran itu jauh-jauh.”
Aku mulai memegang pipi rani, ku tatap
wajahnya, dan dia menatap wajahku, “rani, aku mencintaimu, cintaku hanya
untukmu. Dan aku gak mau kehilangan kamu.” Kataku sambil memegang pipi rani,
“iyaa, aku juga, aku juga sama gak mau kehilangan kamu.” Jawabnya kini
tersenyum manis di wajahnya. Demi apapun, aku tak akan menyia-nyiakan rani, aku
tak mau kehilangan dia. Dan sehabis itu, aku mulai mengecup keningnya dia,
“selamat malam, sayang, I love you.”