Powered By Blogger

Sunday 1 June 2014



                              Cintaku hanya untukmu
Penulis: Aflaha Rizal

Aku mempunyai sepasang kekasih di hidupku, namanya rani, gadis cantik berhati lembut tetapi kini dia direbut oleh orang lain. Saat aku bertemu dengan dia di salah satu pantai dan matahari yang sebentar lagi mau terbenam. Akupun menyatakannya dengan hati nurani ku selama ini, “rani, suatu saat aku akan menikahimu, aku akan membahagiakanmu rani.” Akupun memegang tangannya, dia tersenyum bahagia dan matanya kini mengeluarkan air mata. Kuusap air mata itu dengan tanganku, dia pun memegang pipiku.

                           “iyaa alan, aku mau menikah denganmu. Tapi-“ jawab dia terputus di kalimat terakhir.
                            “kenapa rani?” tanyaku ke dia.

  Rani pun kini mengeluarkan air matanya lagi, kini wajahnya telah dibasahi oleh air matanya. Aku kembali mengusap air mata itu dengan tanganku. “aku mau dijodohin sama mamaku, mamaku menjodohkanku sama seorang pengusaha kaya.” Kata rani, hatiku merasa sesak saat dia mau dijodohkan dengan orang lain itu.

  Aku menunduk kepalaku, aku pegang pipi dia sejenak, “kenapa kamu tega berjodoh dengan orang itu, aku akan membahagiakanmu rani.” Kini air mataku mulai ikut turun dan membasahi wajahku. Rani pun menutup mulutnya sambil menggelengkan kepalanya.

                              “aku gak tau alan, kalau aku nanti menikah denganmu, aku gak tau kehidupan kita bakalan kaya apa. Kamu terlalu miskin alan, aku takut.” Ceplos rani.

  Hatiku sesak tak lama kemudian, memang aku hanya seorang lelaki miskin, ibuku hanya seorang petani di sawah, dan ayahku hanya peternak sapi di kandangnya. Aku, hanya seorang laki-laki miskin dan mempunyai hobi yaitu menulis, saat itu aku bekerja sebagai tukang cuci piring di salah satu restoran yang dekat dengan desaku. Dan juga aku digaji lumayan untuk keperluan hidupku saja. Aku masih memegang tangan rani yang tak lama tangannya mulai dingin.

  “rani, terserah kamu saja. Suatu saat kita bakalan ada di pelaminan, dan aku akan membahagiakanmu nanti.” Kini kami menangis bersama-sama, kupeluk rani saat itu, cuaca makin hari kian akan gelap. Buku tulis yang aku pegang kini mulai jatuh ke tanah, pulpen ku juga jatuh ke tanah, pelukan kami kini kami lepaskan. Rani masih menangis, “maafkan aku alan, semoga kamu dapat pasangan yang lebih baik dariku.” Aku mulai menjawabnya, “gak ada perempuan baik selain kamu rani, kamu wanita yang baik yang dipandang sama masyarakat sini.” Kataku masih memegang tangan rani.

                               “masih banyak perempuan lain disana, percaya sama aku.” Rani memegang wajahku.

  Tak lama rani pergi sesekali menutupi mulutnya, dan masih mengeluarkan tangisannya. Aku mulai meneriakinya dan mengejarnya. “RANI! Jangan tinggalin aku!!!”. Saat aku berlari, aku dikepung sama seorang yang memakai jas hitam dengan rapi, aku melihatnya sejenak. Ternyata ini lelaki yang bakalan jadi suaminya rani nanti. “kamu yang namanya alan? Jadi kamu yang berani mau nikahin dia, hey! Mikir dong, kamu itu hanya laki-laki miskin, hidup di tempat kumuh. Kamu mau liat rani hidupnya kotor sama kamu, gak kan.” Kata dia, seorang pengusaha kaya itu.

  Tak lama aku di dorong oleh si pengusaha kaya itu, aku terjatuh dan tergeletak di tanah. Seorang itu pergi dan merangkul rani, sesekali rani berteriak, “pergi lelaki miskin, pergi!”. Akupun mulai meninggalkan mereka yang sebentar lagi mereka akan bahagia di pelaminan, aku berjalan dan mengambil buku tulisku dan juga pulpenku. Saat aku dirumah, aku mulai menangis karena aku telah kehilangan sesosok perempuan yang aku cintai.  Di malam hari itu, aku mulai menghentikan tangisanku dan mulai aku menulis kembali. Saat itu, aku mempunyai pekerjaan dua. 1.) bekerja sebagai cuci piring di restoran yang dekat dengan desaku, 2.) aku bekerja menulis di salah satu koran di daerah desaku. Saat itu, seorang ketua yang mempunyai perusahaan koran di desaku, ingin meramaikan korannya dengan tulisan cerita. Dan aku digaji yang lumayan cukup untuk keperluan orang tuaku. Aku sudah menulis cerita untuk koran sebanyak 10 tulisan yang ada di koran itu.  

  Dengan itu aku mau membantu orang tuaku yang dilanda kesusahan, mereka berdua bekerja penuh untuk keperluan rumahnya, dan juga kebutuhannya. Pikiranku masih saja memikirkan rani yang sebentar lagi dia akan menikah dengan seorang pengusaha kaya itu. Imajinasiku untuk menulis, saat ini sedang hancur oleh pikiran itu.
  Aku mulai menghentikannya walau hatiku sudah sakit olehnya, aku menghentikannya dan mulai serius untuk menulis di buku tulisku. Pikiran itu aku buang dengan meminum teh hangat yang sudah aku bikin pada malam hari itu.

                                                       ***

Keesokan harinya, mereka menikah, mereka berdua tampaknya sangat bahagia. Makanan yang dihidangkan kini mulai diambil oleh tamu-tamu yang datang ke acara pernikahan itu, dan juga tamu-tamu bersalaman kepada sang pengantin yang sudah resmi jadi suami istri. Orang tua rani dan orang tua si pengusaha itu nampaknya juga bahagia. Akupun mendatangi ke acara itu dengan memakai baju yang tidak sepadan sama mereka, aku hanya memakai pakaian biasa, sedangkan mereka memakai pakaian yang harganya sangat mahal. Tamu-tamu melihatku dengan tatapan sinis, seolah-olah aku adalah setan pengganggu di acara pernikahan itu.

  Rani tak lama melirikku, kemudian dia mengeluarkan air matanya, aku melihat rani yang kini dia berdiri di atas panggung dan dihiasi karpet merah itu. Musik-musik jazz mulai berkumandang, aku masih melihat rani yang sedang mengeluarkan air mata itu. Dan tak lama, orang tuanya rani melihatku saat itu, orang tua rani mulai mendatangiku. Ibunya rani memegang pundakku, “nak alan, silahkan hidangkan makanannya.” Ucap ibunya rani, aku menundukkan kepalaku dan menjawab dengan hiasan senyum lesu. “gak usah bu, selamat ya bu, rani sekarang menikah dengan seorang pengusaha kaya.” Aku tersenyum lesu.

  Orang tuanya rani pun tersenyum, “iyaaa, terima kasih ya nak alan, kenapa kamu hanya sendirian disini? Kenapa orang tuamu tak diajak untuk datang ke acara pernikahan ini?” ayahnya rani bertanya.

                                 “orang tua saya sibuk, pak, mereka sedang bekerja.” Jawabku datar.

  Mereka pun mengangguk, dan kini mereka meninggalkanku. “nak alan, kami pergi sebentar, ya. Kami mau foto-foto buat album pernikahan untuk rani.” Kata ibunya rani tersenyum. Aku pun hanya mengangguk dan tersenyum.

  Pandanganku kini mulai menusuk di bagian hatiku, hatiku sepertinya ditusuk dengan pisau yang sangat tajam. Perih rasanya. Kini aku memutuskan untuk meninggalkan acara ini, daripada aku sakit hati sendirian dan menganggu acara mereka yang sedang berbahagia itu. Rani sempat-sempatnya melihatku yang kini aku sudah meninggalkan acara itu, dan juga rani mengeluarkan air matanya. Dan tak lama pundakku ditepuk sama seseorang, aku membalikan badan ke seorang yang telah menepuk pundakku. Dan ternyata ketua perusahaan koran di daerah desaku. Dia sedang datang ke acara itu.

                                 “hey alan!” dia menepuk pundakku.
                                 “pak amir, hey, tumben anda datang ke acara ini.” Saya tersontak senyum ke pak amir, ketua perusahaan koran di daerah desaku.
                                 “iyaa, saya diundang sama ayahnya rani, dia pelanggan setia koran saya.” Jawabnya tersenyum, dan di tangan kananya dia memegang satu gelas plastik putih berisi kopi coklat susu yang masih panas.

  Dan aku mulai mengeluarkan lembaran kertas buku tulisku, yang berisi tulisanku yang bakalan diterbitkan di korannya pak amir. “pak amir, oh iya, ini tulisan saya.” Saya mengasihi lembaran kertas yang berisi tulisan cerita itu ke pak amir. Pak amir pun tersenyum, dan mulai meneguk segelas kopi coklat susunya, “ada yang perlu saya omongin, mari, kita minum kopi dulu.” Ajaknya.

  Kini yang tadinya aku mulai meninggalkan tempat acara pernikahan ini. Dan sekarang aku mulai masuk lagi, itupun karena pak amir yang mengajakku. Dan di meja dekat dengan musisi jazz yang sedang bermain musiknya di atas panggung. Aku mulai duduk di meja itu, disitu ada seorang bapak-bapak berkepala botak, dan janggutnya tipis. Pak amir mulai memperkenalkanku ke seorang bapak itu. “ini pak, dia yang namanya alan.” Pak amir memperkenalkanku ke bapak itu.

                                  “perkenalkan, saya pak didit.” Dia sambil menjulurkan tangan.
                                  “oh iya, saya alan.” Aku berjabat tangan ke pak didit.


  Tak lama pak didit menanyakanku dimana alamat rumahku, dan menanyakan tentang tulisanku yang sudah lama sekali di publishkan di korannya pak amir. “saya dan pak amir, sudah berkenalan dengannya sudah lama, saya ketua percetakan dan penerbit buku di daerah kota jakarta. Saya tertarik dengan tulisanmu yang tiba-tiba masuk di korannya pak amir.” Akupun menundukkan kepala, dan kopi coklat pun datang, kini yang melayaninya adalah seorang waiter di acara itu. “diminum dulu, lan, gak enak kalau udah dingin, heheheh.” Kata pak amir.

  Perbincangan kembali berlanjut, “jadi, pak didit mau membeli karya tulisan kamu sebesar 500 juta.” Ucap pak amir, akupun kaget saat itu. “yang diucapkan sama pak amir itu betul, saya ingin membeli karya tulismu dan di publish ke sebuah buku. Dengan itu, pasti yang membaca karya tulismu lebih banyak dari yang membacanya hanya di koran saja.” Lanjut pak didit.

                            “begini deh, nanti sehabis dari acara ini, saya ingin berkunjung ke rumahmu.” Kata pak didit.

  Akupun hanya mengangguk, dan kamipun menikmati kopi bersama-sama, dan sesekali mataku melihat ke rani. Saat itu rani sedang menyuapkan satu buah kue dan menyuapkannya ke suaminya. Suaminya pun mengusap pipi rani. Hatiku mulai rapuh, aku ingin marah, tapi aku gak mau merusak kebahagiaan mereka.

  Saat aku sudah pulang dari acara itu, pak didit pun kini ke rumahku, rumahku melewati ladang sawah padi, disana ada ibuku yang sedang mengurus sawahnya. Sesampainya di rumahku pak didit mulai masuk ke rumahku, “ini rumahmu, lan?” tanya pak didit, aku spontan tertawa kecil “hehehehe, iya pak. Silahkan pak diminum teh hangatnya.” Aku membawa satu gelas teh hangat. Dan tak lama pak didit mulai kembali berbicara tentang masalah tulisanku yang akan dibelinya.

                              “jadi, gimana, saya beli tulisan anda.”

  Akupun mulai setuju karena karya tulisku yang hanya dimuat di koran pak amir kini tulisanku akan di publish ke sebuah buku di percetakan. “baiklah pak, saya setuju!”, “terima kasih, saya ambilkan surat kontraknya, tapi suratnya tertinggal di perusahaan kantornya pak amir. Nanti saya ambilkan dulu.” Katanya.
  Dan tak lama pak didit pun datang lagi, dan membawa selembar surat kontraknya. Dan juga puplennya menancap di kertas surat kontraknya itu. “silahkan di tanda tangan!” perintah pak didit, saat aku menandatangani surat kontrak itu, di sebelahku ada ibuku dan ayahku. Ibuku bingung apa yang aku tanda tangani itu, “nak, itu apa kamu tanda tangani itu?” tanya ibuku.

                           “ini surat kontrak percetakan, ma, jadi karya tulisku dibeli seharga 500 juta.” Jawab ku.

  Ibuku tak lama kaget, “500 juta! Gak salah kamu, banyak sekali alan.” Ibuku tak lama menangis, sehabis aku menandatangani kontrak itu, aku mulai memeluk ibuku. “jadi, aku bisa memberangkatkan ayah dan ibu naik haji ke mekkah.” Kataku sambil memeluk ibuku, ayahku pun juga menangis. Dan pak didit mulai meninggalkan rumahku, dan juga mengajakku untuk ke pak amir. “alan, saya pergi dulu untuk ke pak amir, kamu mau ikut, sekalian mau mengambil data-data tulisan kamu di kantornya pak amir?” ajakannya.

  Akhirnya aku izin pamit ke orang tuaku yang masih menangis bahagia, dan aku mulai ke kantor perusahaan korannya pak amir.

  Sampainya di kantor pak amir, aku mulai duduk di ruang kerjanya, dan mengambil setumpuk kertas yang berisi karya tulisku yang sudah lama aku publish disini. “ini pak didit, ini kertas yang berisi tulisannya alan.” Pak amir lalu menaruh setumpuk kertas itu di meja kerjanya. Dan setumpuk kertas itu mulai dimasukkan ke amplop berwarna coklat, tak lama pak didit mengasihkanku koper tas berwarna hitam. Dan kubuka isinya uang sebesar 500 juta, dan akhirnya pak didit izin pamit pulang ke kota jakarta, dan juga pamit kepadaku. “saya pamit dulu alan, kira-kira ini membutuhkan proses yang lama.” Katanya sambil tersenyum, akupun membalas senyumnya lagi.

  Dan amplop berwarna coklat itu mulai dimasukkan di tasnya, dan aku mulai pulang ke rumah dengan membawa tas koper yang berisi uang itu. Sesampai dirumah, orang tuaku bahagia, dan beberapa hari selanjutnya aku akan memberangkatkan mereka naik haji.

                                                      ***
Bulan-bulan berikutnya, aku telah mempublish bukuku yang berisi karya tulisku, dan juga aku membaca hasil karya tulisku yang sudah dijadikan buku oleh percetakan, orang tuaku kini sedang naik haji, bukuku telah dicetak sebesar 50 cetakan, royalti bukuku lebih dari milyaran. Dengan itu aku membelikan sebuah rumah yang besar yang dekat dengan desaku. Orang-orang yang bekerja di sawah dekat dengan rumahku memberikan selamat, karena aku telah sukses. “wah! Selamat ya, nak alan, engkau sudah sukses sekarang.” Akupun tersenyum ke orang-orang yang bekerja di sawah dekat dengan rumahku.

  Rumah yang kubeli sekarang sudah resmi aku huni, dan pak amir memberikanku sebuah Laptop kalau aku ingin menulis, “ini Laptop dari saya, terimalah.” Pak amir memberikan Laptop dan ditaruh di meja ruang tamuku. “oalah pak! Jadi gak enak saya pak.” Aku tertawa kecil, pak amir pun tersenyum.

                             “sudah, kamu itu sudah jadi orang sukses, dan saya mau memberikan ini kalau kamu sedang bekerja.” Jawabnya tersenyum.

  Akupun berterima kasih ke pak amir, dirumah hanya aku sendirian, orang tuaku kini sedang menjalani ibadah haji di mekkah. Dan karena aku bosan dirumah, aku mulai bepergian ke luar rumah untuk jalan-jalan. Dan tak lama aku menemui sosok seperti rani di sungai, dia sedang duduk dan sambil membaca buku. Benarkah itu rani? Aku langsung mendekatinya, kuperlihatkan rini sedang menangis.

                                 “hey!” sapaku sambil menepuk pundak rini.

  Rani pun membalikkan badan, “alan, kamu ngapain disini?” akupun menjawabnya, “aku gak sengaja menemuimu sendirian disini, kenapa kamu menangis rani?”, dan akupun mulai duduk di sampingnya. Air mata rani semakin membanjiri wajahnya, aku usap dengan sapu tanganku. Dan rani melihatku sejenak, akupun tersenyum. “sudah, jangan nangis.” Aku mulai menenangkan rini. Dan saat aku mulai berbicara dengan rini kenapa dia menangis, rani pun cerita, cerita masalah rumah tangganya. Suaminya kini sudah selingkuh dengan perempuan lain, dan gak segen-segen suaminya ingin menceraikan rani. Rani sampai saat ini belum dikaruniai satu seorang anak, dirumah rani selalu kesepian karena suaminya sibuk dengan perusahannya. Dengan itu rani tak pernah dapat kasih sayang oleh suaminya.

  “benarkah kamu mau bercerai rani?” tanyaku, rani mengangguk dan air matanya kembali membanjiri wajahnya, “iyaa, aku akan bercerai dengan suamiku. Orang tuaku syok denger suamiku mau bercerai denganku, mamaku sering sakit-sakitan karena denger perkataan dariku bahwa suamiku ingin bercerai dariku.” Katanya lagi sambil menangis.

  Dan mataku melihat ke sebuah buku, ternyata dia sedang membaca bukuku, “ternyata kamu sudah sukses sekarang, karyamu diminati banyak orang.” Kata rani. Akupun ikut tersenyum, sesambil melihat sungai yang ikannya kini mulai terlihat jelas. “terima kasih rani, sekarang aku bisa membahagiakanmu, tapi sayang kamu sudah punya suami.” Jawabku, rini kembali melihatku, yang sedang melemparkan batu-batu kecil ke sebuah sungai. “apakah kamu masih mencintaiku alan?” tanya dia sejenak.

  Lemparan batu-batu yang aku lempar ke sungai, kini aku hentikan, ku perlihatkan wajah rini, matanya masih berkaca-kaca. “sampai kapanpun, aku tetap mencintaimu rani. Walaupun sekarang kamu sudah punya suami.” Jawabku, dan kembali melemparkan batu-batu kecil itu ke sungai.

  Tak lama rani memegang tanganku, “alan, maafin aku, dulu aku pernah menghinamu kamu miskin, maafin aku udah nyinggung kamu seperti itu,” rini memegang tanganku. Ku genggamkan tangannya, “tak apa rani, gak usah diperpanjang lagi. Itukan udah dulu.” Jawabku. Rani pun tak lama tersenyum. Rani tak lama membicarakan tentang keberadaan orang tuaku sekarang, aku bilang, bahwa kedua orang tuaku kini sedang menjalani ibadah haji di mekkah. “wah! Selamat ya, akhirnya orangtua kamu bisa naik haji juga.” Jawab rini.

  “jadi dirumah kamu sendiri, dong?” tanya rini lagi, akupun mengangguk dan tersenyum. Tak lama suara petir pun terdengar menandakan bahwa sebentar lagi akan hujan, hujan pun turun. Aku mulai mencari tempat untuk meneduh. Ku gandeng rani saat itu, dan tak lama aku menemukan sebuah warung yang tak jauh dari sungai itu, aku mulai meneduh disitu bareng rini. Di warung, seorang ibu-ibu yang sedang menjaga warung, kaget bahwa aku meneduh di warungnya. “wah nak alan, sudah sukses kamu sekarang.” Kata ibu itu, akupun tersenyum, dan memesan satu buah gelas teh hangat untuk rani. “kamu gak minum teh alan?” tanya rani, aku pun menggelengkan kepala, “tak usah rani, kamu saja yang minum.” Rini pun kembali meneguk teh hangat itu, hujan semakin deras, petir pun kembali kencang.

  Kuambil dua buah gorengan untuk kumakan bersama rani, memang aku belum makan waktu itu, dan rani pun memakan gorengan itu. “makasih ya alan, jadi ngerepotin.” Kata dia, “alah! Gak apa-apa kok!” jawabku. Dan handphone nya rani berbunyi, pertanda telepon dari ibunya, ibunya menanyakan tentang keberadaan rini dimana. Dan rini bilang, rani sedang meneduh di warung karena hujan, “aku lagi di warung ma, bareng sama kekasihku.” Ucap rani, akupun kaget sejenak, apa yang baru rani ucapkan. Dan selama handphone nya masih menempel di kupingnya, rini menengokku dan tersenyum.

  Sehabis rini telepon, rani pun mulai menepuk pipiku, “kenapa, kaget ya aku bilang kaya gitu?” kata rani sambil tersenyum, akupun hanya tersenyum dan pandanganku tak berani melihat ke wajahnya rini. Hujan pun tak lama mulai reda, akhirnya setelah aku membayar teh hangat dan gorengannya, akupun pulang bersama rini. Di perjalanan pulang kami pun masih mengobrol, sesampai di rumahnya rini, rini pun pamit. “makasih ya lan, udah mau nganterin aku pulang.” Rani tersenyum, “iyaaa, sama-sama.” Jawabku.

                                                        ***

Di bulan juli, rani pun bercerai dengan suaminya. Rani pun sangat kuat dalam menjalani hidup ini, waktu itu pak amir sengaja bermain ke rumahku dan tak lama pak amir mulai membicarakan seputar perceraian rani dengan suaminya, “mereka berdua cerai, loh ternyata, padahal usia pernikahan mereka baru berapa bulan, belum ada setahun dua tahun.” Pak amir membicarakan itu sambil menyeruput kopi coklatnya.

                                  “iyaa pak, saya jadi kasihan melihat rani yang disakitin sama suaminya itu.” Jawabku sesambil kepalaku bersender di sofa.
                                   “padahal rani itu cantik loh, baik orangnya, tapi kenapa dia bisa digituin ya sama suaminya?” kata pak amir.

  Akupun kembali duduk tegap di sofa, “katanya suaminya selingkuh pak, rani cerita dengan saya sudah lama.” Pak amir menaikan alisnya, dan pandangan matanya melihat ke daerah sekitar rumahku.

  “kalian berdua sudah kenal lama dengan rani?” tanya pak amir, aku menggoyangkan bibirku, dan mencari kata-kata untuk mencari jawaban yang tepat. “rini sama saya sudah berkenalan dari kecil pak. Dia orangnya terpandang disini, di desa ini tentunya.” Jawabku tak lama mataku kini mulai terpejam.

  Dan tak lama telepon rumahku berbunyi, dan aku beranjak dari sofa untuk menuju ke telepon rumah itu yang terbunyi dengan keras. Kuangkat teleponnya, dan ternyata rani meneleponku, suaranya terisak, sepertinya dia sedang menangis. “alan, bisakah kamu ke rumahku?” tanya dia terisak menangis di telepon. Akupun terdiam dan kepalaku tertunduk, aku menghela nafas panjang, “oke rini, aku akan kesana.” Telepon pun mati, aku izin ke pak amir bahwa aku disuruh ke rumahnya rini, pak amir pun lalu pulang dan kembali ke kantornya. “yasudah, kapan-kapan saya bakalan ke rumah kamu lagi, main-main lah iseng-iseng ke rumah saya. Heheheh.” Kata pak amir.

  “hehehehe, iya pak, kalau saya ada waktu, ya pak.” Jawabku sesambil tertawa kecil, dan aku mulai meninggalkan rumahku dan pergi menuju rumah rini. Aku berjalan mengitari desa, sesekali pandanganku melihat sawah tempat bekerjanya ibu. Seorang petani yang sedang bekerja, memanggilku dari kejauhan, “nak alan, hey!” akupun menyapanya kembali, dengan teriakanku dan sambil melambaikan tangan. “iyaa pak!”.

  Sampai di rumahnya rani, aku mulai mengucapkan salam, tak lama satpam yang ada di rumahnya rani mendekatiku. “mau cari siapa, nak alan?” aku mulai bilang ke satpam itu, bahwa aku datang ke sini untuk menemui rani. Pak satpam pun membuka pagar rumahnya, dan akupun mulai masuk dan mendekati pintu rumahnya. Aku pegang bel rumah itu, kutunduk kepalaku, lalu kupencet bel itu. Dan tak lama rini keluar dari rumahnya, dan menyapaku dengan senyum manisnya. “hey, masuk dulu sini.” Ajaknya, akupun mulai masuk ke rumahnya, aku mula duduk di sofa. Dan tak lama ibunya rini keluar dan menuju ke sofa, dia berjalan dengan menggunakan kursi rodanya.

                                 “nak alan, apa kabar, sudah sukses kamu sekarang. Ibu baca buku kamu loh, ternyata ceritamu membuat semua orang menangis.” Ucap ibunya rani dan tersenyum.
                                  “hahahahah, terima kasih bu sudah membaca buku saya.” Jawabku dan membalasnya dengan senyum.

  Rani membawa dua gelas kopi coklat americano untuk di suguh bersama-sama, “diminun dulu alan, kopi dari luar negeri ini. Hehehhe.” Sontak ibunya rini, akupun tertawa kecil, dan aku mulai meneguk kopi yang dari luar negeri itu.

  Rani tak lama duduk disampingku, sampai-sampai ibunya rani melihatnya dengan senyum, akupun malu dengannya. “sudah, gak apa-apa kok, rini sudah bercerita banyak tentang kamu.” Kata ibunya rani, rani pun tersenyum ke arahku. Akupun tersenyum malu saat itu, ku teguk kopi coklat americano itu, rasanya ternyata enak, khas takaran kopinya benar-benar pas. Manisnya juga gak berlebihan, tak lama mamanya rani meninggalkan kami berdua. Dan tak lama ada keheningan sebentar, kami sama-sama meneguk kopi itu.

                                   “ada apa rani, kamu mengajakku untuk ke rumahmu?” tanyaku ke rani.

  Rani tersenyum dan melepaskan tegukan kopinya itu. “ada yang perlu aku omongin, sehabis ini, kita ke sungai yuk, walaupun cuacanya panas diluar. Hehehehe.” Jawabnya, aku menurutinya, kopi yang aku teguk tak lama habis, “hey, sudah habis saja kopinya, enak ya. Hahahah.” Sontak rani, memang kopi americano benar-benar enak, aku baru pertama kali menyobanya. “heheheh, iyaa, baru pertama kali aku nyobain.” Kataku.

  Dan sehabis itu, kamipun berpamitan sama ibunya rani, untuk berjalan-jalan sebentar. “yasudah kalian hati-hati, ya.” Kata ibunya rani.

  Kami berdua pun tersenyum, dan saat itu kami berjalan menuju sungai itu. Di sungai kami mulai duduk yang dekat dengan sungai. Dan aku kembali melemparkan batu-batu kecil itu ke air sungainnya, “hey, kamu kaya anak kecil aja lempar-lemparan batu ke sungai. Hehehhe.” Rani tertawa melihatku yang sedang melemparkan batu-batu kecil itu ke sungai.

                                “hehehhe, biarin,” jawabku.

  Tak lama rani memegang tanganku, tangan kananku yang aktif melempar batu-batu kecil  ke sungai. Tak lama dihentikan olehnya, aku menatap rani. “ada apa rani?” tanyaku sejenak.
  Rani mulai membuka pembicaraannya, “alan, maukah kamu-“ tak lama kalimat terakhirnya putus, aku menaikan alisku, “apa rani?” aku penasaran, rani menghela nafasnya. Dan mulai mengembuskannya. “maukah kamu menikah denganku, aku mencintaimu alan.” Kata rani, aku kaget sejenak. Kami mulai diam sebentar, “aku juga masih mencintaimu, rani.” Jawabku. Rani pun tersenyum dan tak lama, rani memelukku, “makasih alan, sehabis dari sini, kita omongin ke ibuku ya.” Jawabnya tersenyum, aku menganggukan kepala dan tersenyu.

  Sehabis dari sungai, kamipun pulang untuk membicarakan ini ke ibunya, sesampainya di rumah, rani pun mengandeng tanganku. Aku malu saat itu, “sudah jangan gugup gitu, sebentar lagi kan kita mau nikah. Heheheh.” Ucap rani. Saat kami masuk ke rumahnya, rani pun menemui ibunya yang sedang di halaman belakang. Dan rani mulai memeluk kaki ibunya sambil menangis, dan aku mendekati rani, dan tak lama rani mencium keningku, dan tak lama rani membicarakan sesuatu dengan ibunya. “ibu, rani akan menikah dengan alan, ibu menyetujinya?” rani bicara ke ibunya.

  Ibunya rani mulai mengusap rambutnya rani, dan ibunya sambil menangis, “ibu setuju, rani, bagi ibu, alan lelaki yang baik buat kamu.” Kata ibunya, sambil mengelus rambutnya rani. Dan rani tak lama memeluk ibunya, “terima kasih, bu. Aku sayang sama ibu.” Akupun masih melihat rani yang menangis dan memeluk ibunya. Tak lama kepalaku dan kepalanya rani dipegang dan dielus-elus oleh ibunya rani. Rani pun menundukkan kepala dan masih mengeluarkan tangisannya.

                                   “ibu mau, kalian berdua bahagia nantinya, dan juga rani. Ibu mau rani bahagia bersama alan, semenjak rani disakiti oleh mantan suaminya.” Ibunya rani mengelus kepalaku dan kepalanya rani.

  Aku mulai beranjak dan berdiri, ibunya rani menatapku. “saya janji bu, saya bakalan bahagiain rani.” Kataku, berjanji kepada ibunya rani. Dan waktu sudah menuju sore, aku berpamitan dengan ibunya rani. Ibunya rani bilang, dia akan mengatur semuanya tentang pernikahan aku dengan rani. Aku mulai menyaliminya, dan aku mulai menuju ke pintu rumahnya rani. Rani pun mengikutiku, saat aku diluar rumah dan mau pulang rini pun memegang tanganku tiba-tiba.

                          “hati-hati, ya alan.” Rani memegang tangannku.

  Aku menganggukan kepalaku, dan tersenyum. Dan gengaman tangannya pun lepas, rani melambaikan tangannya saat aku menuju pagar rumahnya. Rani pun masih di teras rumah, saat aku berjalan pulang akupun melambaikan tangannya. Rani pun kini kembali tersenyum lagi.

                                                       ***

Bulan september akupun resmi menikah dengan rani, orang tuaku sangat bahagia, apalagi orang tuanya rani. Tamu-tamu mulai menyalimi kami, tak lama pak didit bersalaman denganku “hey penulis, akhirnya nikah juga, hahahaha.” Sontak pak didit. Akupun tertawa, dan mengucapkan terima kasih udah datang, pak amir pun juga sama menyalimi kami, tamu-tamu mulai ramai di acara itu. Dan juga, tamu-tamu mulai mengambil makanannya. Musisi jazz masih bermain musiknya dan menghibur tamu-tamu yang datang ke acara itu.

  Rani menepuk pundakku, “alan, dulu aku pernah melihat kamu disitu, waktu aku mau foto buat album pernikahan aku, kamu ada disana. Hiihh, aku nangis tau.” Suaranya yang manja, dan jarinya menunjuk ke tempat yang waktu itu aku berdiri hampir dekat dengan panggung stage itu.

  Aku tersenyum, dan kami bertatapan, “akhirnya kamu ada di hidupku, rani.” Hatiku berbicara saat kami bertatapan. Kami pun berdua tersenyum.

  Sejak acara pernikahan berakhir, akupun resmi menjadi suami istri, ibu dan ayahku, yang sudah pulang dari hajinya. Bertinggal dirumahku, akupun bertinggal di rumah rani, ibunya rani datang pada saat aku dan rani sedang bercanda-canda di halaman belakang. “nak alan, ada yang mau ibu bicarakan.” Ucap ibunya rani, ibunya rani menyuruh rani untuk ikut. Aku mulai menggandeng tangannya. Saat aku duduk dan berhadapan dengan ibunya rani, yang sampai saat ini masih duduk di kursi rodanya.

                              “ibu sudah membeli rumah di jakarta, untuk kamu, dan juga rani. Jadi kalian bisa tinggal berdua disana.” Kata ibunya rani, dan matanya berkaca-kaca.
                               “ibu, duh..jadi gak enak bu, saya kan bisa beli rumah sendiri.” Jawabku.

  “sudah, tak apa-apa kok, ibu ikhlas membelikanmu rumah untuk rani dan juga kamu.” Katanya dengan matanya masih berkaca-kaca.

  Kemudian, rani memeluk ibunya, ibunya mengeluarkan air matanya. “terima kasih bu, terima kasih.” Lirihnya, ibunya rani mulai mengusap rambutnya, aku semenjak berdiri dan melihat rani yang sedang memeluk ibunya itu. Dan sehabis itu, kami berdua akan menempati rumah itu di ibukota besok. Akupun mulai mengemasi barang-barangku yang ada di rumahku nanti malam, rani pun juga sama mengemasi barang-barangnya nanti malam.

                                                    ***

Saat kami sudah menjadi penghuni rumah di jakarta, aku sedang mengerjakan karya tulisku yang kedua. Saat itu, pak didit kaget bahwa aku tinggal di jakarta, dan juga pak didit akan ke rumahku besok hari. Pak amir masih menjadi ketua perusahaan koran di desanya, aku akan sesekali pulang kampung dan menemui orang tuaku dan juga pak amir. Ibuku masih bekerja mengurusi lahan sawahnya, ayahku juga sama, mengurusi peternakan sapi di kandangnya. Tapi dengan itu, aku bakalan mengirim uang untuk mereka lewat pos, saat aku sedang mengerjakan karya tulisku, rani sudah tidur di kamar tidurnya, aku perlihatkan sejenak, dia tertidur pulas.

  Di jam yang sudah tengah malam, akupun mulai berhenti nulisnya, dan aku lanjutkan besok. Aku mulai tidur disampingnya, kulihat raut wajahnya saat itu, ternyata istriku cantik sekali saat sedang tidur. Aku masih melihat rani yang matanya terpejam dan pulas di tidurnya, tak lama rani membuka matanya. Dia melihatku dengan bingung, “kamu belum tidur, alan.” Katanya dengan tatapan bingung.

                                 “belum, aku gak bisa tidur.” Jawabku tersenyum.

  Rani menaiki alisnya, dan tak lama rani menjawabnya lagi, “kenapa, yaudah paksain tidur aja, udah malem loh.” Lanjutnya lagi. Aku langsung menarik badannya yang mungil itu, “sttt…” aku mulai mendekati rani. Aku mulai bertatapan dengan rani, “rani, akhirnya aku bisa bahagiain kamu sekarang. Beruntungnya aku bisa memilikimu.” Kataku.

  Rani tak lama tersenyum, dan tak lama rani memegang pipiku. “aku juga, aku juga beruntung memilikimu, terkadang kesalahanku masih terpikir terus di kepalaku.” Jawabnya, “kesalahan apa, kamu gak punya salah.” Lanjutku. Rani menghirup nafasnya, dan langsung menghembuskannya.

                               “aku kan pernah menghinamu lelaki miskin,” katanya.
                               “jadi itu yang masih terpikir di kepala kamu, yasudahlah, kamu buang pikiran itu jauh-jauh.” Kataku tersenyum.
                                “iya, aku buang pikiran itu jauh-jauh.”

  Aku mulai memegang pipi rani, ku tatap wajahnya, dan dia menatap wajahku, “rani, aku mencintaimu, cintaku hanya untukmu. Dan aku gak mau kehilangan kamu.” Kataku sambil memegang pipi rani, “iyaa, aku juga, aku juga sama gak mau kehilangan kamu.” Jawabnya kini tersenyum manis di wajahnya. Demi apapun, aku tak akan menyia-nyiakan rani, aku tak mau kehilangan dia. Dan sehabis itu, aku mulai mengecup keningnya dia, “selamat malam, sayang, I love you.”