Powered By Blogger

Monday 3 October 2016

Puisi


Tema: “Pers Sebagai Pahlawan”
# Great3rdCOMPETITIONFEUNJ

Acara begitu ramai, mereka begitu kagum oleh salah satu seorang Puisi yang bernama Aldi. Seorang sekaligus lebih banyak mengeluarkan beberapa kata-kata dalam bentuk puisi. Puisi dari hatinya sendiri, atau puisi di kehidupan sosial. Dari mereka, lebih banyak menyukai puisi Aldi yang lebih banyak membicarakan tentang Sosial. Kemiskinan, Pengangguran, atau angka kematian dalam hidup.
            “Oke! Ini salah satu karya kumpulan puisi yang berjudul ‘Tempat dan Panjang’. Boleh diceritakan sendiri maksud dari arti itu, dan kenapa judulnya seperti itu?” ucap seorang Pemandu Acara. Seorang wanita memakai kacamata dan rok hitam setengah lutut beserta T-shirt putih.
mic itu mulai ditempelkan di bagian bawah bibirnya. Menjelaskan buku Puisi yang baru diterbitkan satu bulan yang lalu. Namun baru hari ini, Aldi diundang dalam sebuah Talk Show Sastra di kota Surabaya. Khusus untuknya yang banyak sekali orang terkagum-kagum dengannya, seorang Penyair Puisi yang selalu dibaca lewat radio oleh penyiar, dan diteribkan di surat kabar maupun di website blog Aldi sendiri. Sosok Aldi yang bertampang senyum manis itu baru saja lulus sekolah SMA. Semenjak kelas 3 SMP ia mengetahui sebuah puisi, lalu di kelas pertama SMA Aldi mulai merambah di dunia penulisan Puisi.
“Jadi buku itu menceritakan sosok saya sendiri. Saya punya tempat yang tidak pernah saya sadari. Nah, yang tidak sadarnya itu, saya punya tempat hidup yang begitu panjang. Ciri-cirinya kayak puisi ‘Menjelas Arti’, di bagian halaman lima. Itu dijelaskan bagaimana ciri-ciri cinta menurut manusia diluar sana. Karena bagi kita sendiri, kita masih bingung walaupun kita sudah jalanin sama pasangan kita. Dan itu salah satu tempat  hidup yang panjang, ya itu, Cinta bagi mereka yang menjalankan. Juga yang saya jalankan.”
            Sudah dua buku puisi yang sudah diterbitkan. Sebagai penulis puisi produktif, kepingan hidup selalu Aldi cari untuk mendukung puisi-puisi yang terus dibuatnya. Puisi yang selalu ingin dia jadikan hidup sebagai dunia bagi orang-orang yang merasakan keresahan lewat bentuk Syair puisi.

                                                                        _____

“Mas, Aldi. Boleh minta waktu untuk wawancara mengenai buku puisi terbaru Mas?” seorang wartawan yang menunjukkan kartu Pers Media Indonesia itu menepuk pundak Aldi dari belakang. Lantas, Aldi tersenyum. Terbuka kepada wartawan yang hadir untuk meminta waktunya yang hanya sebentar. Aldi mengangguk, dan seorang wartawan itu menjawab, “Makasih, Mas.”
            Pertanyaan demi pertanyaan langsung masuk ke bagian buku terbarunya. Aldi menjelaskan dengan terus menatap seorang wartawan berambut klimis itu. Terlihat begitu rapih dengan mata yang seakan-akan memiliki pancaran cahaya disana. Yakin sekali, sosok itu mendukung lekuk senyumnya yang mengundang lewat wajahnya. “Berapa lama proses pembuatannya, Mas?” tanya seorang wartawan itu lagi. Aldi mengangguk, memamerkan buku puisi terbarunya ke hadapan wartawan yang hanya satu orang. “Ini proses-nya cuman dua minggu saja. Tapi selebihnya, penerbit yang memberikan waktu kapan buku saya akan terbit.” Jawab Aldi kemudian.
            Prestasi yang membanggakan bagi Sastra Indonesia, Aldi selalu bertemu dengan orang-orang hebat diluar sana. Seperti Seno Gumira Adjidarma. Cerpenis yang melalangbuana namanya lewat kata-kata beserta alur ceritanya. Dan Penyair yang pernah Aldi temui. Hingga nama Aldi masuk sebagai Penyair muda di Indonesia. Tak begitu disangka, orang-orang banyak yang ingin tahu tentang Aldi. Seorang anak muda yang menuliskan kata-katanya yang tak pernah orang lain pikirkan. Ide dari kepalanya itu tak pernah Aldi pikirkan. Langsung menulisnya berupa kata-kata keluar bebas mengarungi dunia Puisi-nya.
            “Mengenai Mas Aldi yang sebagai seorang Penyair Muda Indonesia. Bagi Mas sendiri seperti apa, tentang Mas sebagai seorang Penyair Muda?” tanyanya lagi. Tinggal satu pertanyaan terakhir lagi yang akan selesai. Diluar, ada dua wartawan lagi yang sedang menunggu. Dan Aldi segera cepat-cepat menyelesaikan waktunya.
            “Gimana, ya? Sebenarnya, sih, saya nulis Puisi hingga diterbitin itu gak disangka aja orang banyak yang baca, dan kalau sebagai Penyair Muda itu, diluar sana banyak Penyair yang lebih baik dari saya. Yah… Mungkin itu bonus dari saya. Dan saya harus lebih produktif menulis terus.” Wajah Aldi tersenyum kembali.
            “Tertarik ingin buat Novel? Ataupun Cerpen?” pertanyaan terakhir mulai tiba.
            “Pengennya, sih, Novel. Tapi menceritakan sosok seorang Penyair juga. Dan alur ceritanya itu akan saya selipin puisi dari sosok yang dibuatnya. Kebetulan saya sebagai penulis puisi, saya mau mempertahanin di dunia puisi saya dulu. Karenanya, ada puisi yang lain juga yang ingin saya selesaikan untuk cadangan buku selanjutnya. Yah… Mudah-mudahan puisi saya bisa diterima lagi dan dicintai lagi sama masyarakat Indonesia sana. Setelah buku baru saya yang terbit.”
            Ketika puas seorang Wartawan itu berhasil mengulik buku terbaru Aldi. Sosok seorang wartawan itu bernama Wijaya. Jabatan tangan pertanda selesai, Aldi memberikan satu buku padanya secara gratis. Beserta tanda tangannya. “Terima kasih, Mas, karya ini akan saya kenang.” Senyumnya lantas pergi meninggalkan ruangan belakang panggung.
            Dua wartawan yang meminta waktunya, segera Aldi selesaikan. Pertanyaan yang berbeda, namun masih sama dengan keterkaitan oleh buku terbarunya. Dan sosok sebagai Penyair Muda di Indonesia.
                                                            _____

Wartawan adalah sosok seorang pahlawan bagi Masyarakat. Tentu saja, seorang wartawan atau yang disebut sebagai kuli tinta, atau seorang reporter TV yang sama-sama menjalankan tugas Jurnalistik-nya, tak akan masuk nama Aldi di sebuah koran Media Indonesia yang sedang dibacanya. Membaca sekilas rangkaian Talk Show di Surabaya dan mengundang Aldi sebagai pembicara sekaligus membicarakan buku barunya. “Acara itu ramai didatangkan oleh penggemar karya seorang penyair muda yang baru lulus SMA ini. Berprestasi yang tengah dijalankan, tentu belum merasa puas, dan terus ingin bersama puisi sebagai kehidupan bagi mata masyarakat.”
            Isi bagian berita yang dibacanya, membuatnya tersenyum sendiri. Tanpa seorang wartawan juga, nama Aldi tidak akan dicantum di sebuah berita koran. Atau dikenalnya di mata masyarakat mengenai tentang dirinya. Tanpa wartawan, segala puisi yang dibuatnya juga tak akan sampai ke mata masyarakat. Yang mengulik bagian-bagian puisi Aldi yang ditulisnya.
            Disamping bagian kanan, selepas membaca artikel tentangnya, buku barunya terpajang disana. Senyum pun merekah kembali di wajah Aldi yang terus begitu terkembang. Berkat bakatnya yang tanpa disangka memilah sebuah kata-kata mampu membuatnya seperti ini. Juga bantuan dari wartawan Media yang membesarkan namanya sendiri. Buku terbarunya dari karya seorang Penyair Muda. Karya dari seorang yang umurnya masih belasan tahun, namun bisa berada di bagian penulis maupun kritikus sastra profesional di Indonesia. Dan namanya, mungkin akan dikenang saat Aldi meninggalkan dunia. Meninggalkan puisi yang ditulisnya sebagai memory kehidupan untuk orang-orang yang kagum dengannya bersama puisinya.
            Koran itu mulai dilipat, membacanya pun telah selesai. Menempuh pendidikan lanjutan sebagai guru sebisa mungkin akan terus dijalankan sebagai seorang penulis puisi. Menulis sudah tidak bisa dihilangkan, dan Aldi terus mempertahankan di dunia kepenulisannya. Sebuah buku tulis kosong mulai dipandanginya. Dan bolpen hitam yang melingkari di bagian jarinya. Diputarnya, lalu tangannya bergerak menulis puisi yang ditulisnya. Puisi tentang seorang Wartawan.

Seorang Kuli Tinta punya hidup, atau jendela
mata mereka sendiri sebagai makanan hangat
untuk menatap sosok yang akan ditulisnya
dalam surat kabar esok terbit.
Pahlawan hidup, tanpa bisa makhluk berbentuk
menjatuhkan harga dirinya, atau mengoyahkan
bagian hatinya sendiri yang terus usaha dihancurkan.

Tulisan cerpen ini, dalam rangkaian acara kompetisi yang diselenggarakan oleh @Econochannel dengan hastag lomba #GREAT3rdCOMPETITIONFEUNJ dari UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA.


           

Sunday 2 October 2016

Untuk Mereka

 Tema: “Pers Sebagai Pahlawan”
#Great3rdCOMPETITIONFEUNJ

Pemberitaan kemarin salah satu berita yang membuat aku tegang, sekaligus takut. Coba saja, aku meliput sebuah kejadian konflik kerusuhan ‘Tawuran’ antar warga juga anak muda. Genggaman tangan untuk mengambil gambar tak lepas melihat ke arah lain. Kalau-kalau ada benda melayang yang nyasar menimpaku. Aku seorang wartawan yang bekerja di surat kabar Media Indonesia. Sekaligus Cerpenis yang selalu ku isi di surat kabar tempat dimana aku bekerja.
            Kebetulan, selama aku menjalankan profesi sebagai Jurnalis selama lima tahun, aku begitu memiliki pengalaman yang begitu ganda. Mendapat pekerjaan seperti ini, juga tanda pengenal Pers bernama diriku sendiri, Aryo. Pengalaman pertama ketika aku bertemu musisi hebat dari mancanegara, yang manggung di Indonesia. Menulis berita tentang mereka memang sudah menjadi setiap hari dimana aku selalu menjalankan aktivitas bekerja seperti ini. Dan selalu membuat berita yang baik untuk menyegarkan mata masyarakat saat mata mereka akan membaca informasi di surat kabar yang terbit keesokan harinya.
            Suara siren Polisi berdatangan, massa itu kabur entah kemana. Hanya aku sendiri, yang mengambil gambar dari kamera, juga menyiapkan isi kepala untuk merangkai berita. “Kamu wartawan dari media mana?” ucap salah satu Polisi berbadan tegap. Berwajah tegas. Juga suara intonasi yang terdengar begitu di segani orang. Daritadi, aku hanya diam, fokus kepada mereka yang kabur saat bidikan kamera berhasil mengambil gambar untuk melalui jalur seleksi. “Saya dari Media Indonesia, Pak,” jawabku, memperlihatkan kartu tanda pengenal diriku sendiri. Sosok polisi itu menganggukan kepalanya, lalu mengangkat HT dan berbicara kepada rekannya untuk memberitahukan tempat kejadian.
            “Mereka kabur. Entah kemana. Jalanan berantakan, bekas-bekas batu yang mereka lempar berbekas di jalan aspal. Sebagian ada yang ngelempar bom Molotov.” Ucapnya.
            “Disini saya sedang mengejar sebagian yang lain. Yang ikut terlibat. Mereka berpencar.”
            “Saya disini mengamankan keadaan.”
            Aku mulai mengikuti langkah sosok polisi berbadan tegap itu. Bernama Julianto yang sedang mengambil beberapa seperti batu-batu, dan pecahan beling dari botol. Aku menulis beberapa barang bukti yang sedang dipegangnya. Dan suara HT itu terdengar kembali. Mengagetkan sosok seorang Julianto itu dengan cepat dan tanggap menjawabnya. “Bagus, bawa kesini orang yang sudah berhasil ditangkap. Kita mintai keterangan!” suara tegasnya masuk ke telinga pendengaranku.
            Tak menunggu beberapa lama, mobil polisi yang katanya sempat berpencar itu datang. Membawa dua orang yang berhasil ditangkap itu. seorang polisi bernama Julianto, berjalan dengan tegap. Menghampiri dua orang itu, lalu segera diintrogasi ditempat. Aku dikerumuni oleh lima wartawan. Sebagian wartawan dari Media Televisi. “Kamu asal mana? Masalahnya kenapa bisa terjadi seperti ini?” tanyanya kepada dua orang itu. Terlihat menundukkan kepalanya. Keduanya itu hanya diam membisu.
            Aku bersiap untuk mencatat jawaban dari dua orang yang berhasil ditangkap. Terus ditatar berupa pertanyaan dari Polisi, mereka akhirnya menjawab juga. “Saya asal dari gang sana, Pak. Gak jauh dari tempat kejadian.” Kata seorang itu berpakaian berwarna biru. Satunya, memakai baju putih hanya diam.
            “Kenapa bisa terjadi ini?”
            “Saya kelompok preman yang selalu buat masyarakat sini resah, Pak,” jawabnya lagi.
            Catatan jawaban dari seorang yang tertangkap bisa aku jelaskan melalui rangkai berita. Sudah jelas keduanya itu, adalah seorang preman. Dari kartu tanda penduduk yang dilihat polisi. Polisi juga menggeledah seorang preman yang memakai baju putih. Terbukti menyimpan sabu di kantong celananya. Mereka keduanya langsung dibawa. Dan aku pergi ke suatu tempat, menyelesaikan pekerjaan ini. Menulis berita dan memulai dari paragraf awal.
            Aku melamun memandang tulisan berita yang setengah kukerjakkan. Takut ada yang salah dalam memilah kata, atau kata-kata yang berujung typo. Aku selalu mendapat tanggapan dari bagian Editing, melihat tulisanku ada yang salah ketik. Mereka begitu jeli, melihat seluruh tulisan berita yang kutulis dan tidak hanya aku, beberapa wartawan yang bekerja juga merasakan hal yang sama. Menulis berita sudah menjadi bagian hidup, sebagai pekerjaan mulia. Juga seperti menulis cerita berupa cerpen yang juga ikut terbit di rubrik hari Minggu harian Media Indonesia.
            Dan mereka, masyarakat. Mereka selalu butuh informasi dari beberapa berita yang selalu muncul. Berita sosial, berita hukum, berita kriminal, berita musik, atau berita lainnya. Hidupku selalu menuruti dan melayani mereka. Sebagai pahlawan untuk dunia. Sadar, bahwa pekerjaanku memang benar mulia, dan benar pahlawan. Kusadari kata-kata itu dari beberapa artikel mengenai sosok seorang Jurnalis, atau seorang kekasihku sendiri, Melly. Yang bekerja di suatu perusahaan Bank Dunia.

                                                                        _____

Tempat café di Jakarta begitu lengang, sebentar-sebentar aku melihat beberapa pajangan figura mengenai tulisan seperti kata motivasi hidup. Atau motivasi dalam kopi berbagai macam rasa-rasa. Memang jatahku libur sekarang, namun aku menggantikan Yusril, salah satu bagian wartawan lapangan yang mendapatkan jatah untuk meliput café yang selalu ramai di mata masyarakat yang selalu mereka kunjungi. Aku menerimanya, dan aku ditemani Melly, karena aku yang mengajaknya. Melly tidak repot jika aku tinggal sendirian yang sedang menikmati kopi disana. Isyarat kepalanya menandakkan bahwa aku harus melaksanakan tugas kerjanya. Dan aku pergi menuju bagian officer disana.
            Aku bertemu salah seorang atasan, yang mempunyai beberapa kata-kata jawaban yang siap aku catat tuk dijadikan berita. Dia salah satu pendiri, karena rasa cintanya dengan kopi. Dari hobi, dan pertama kali mengenal kopi dari sosok Ayahnya yang setiap pagi selalu sarapan kopi. “Ayah saya yang menularkan saya inspirasi, hingga terjadilah sekarang. Tapi disini, saya sebagai pengelola juga mengeluarkan beberapa menu kopi yang berbeda dari lainnya. Kadang kopi dicampur rasa buah-buahan.” Ucapnya yang bernama Ferry. Suaranya yang serius, sosok dari matanya yang terlihat terbuka kepada seorang Jurnalis sepertiku yang sedang mendengar beberapa jawaban darinya dan mencatat.
            “Yang mereka suka dari kopi rasa buah-buahan apa, Pak?” tanyaku lanjut.
            Dia mengangguk, segera menjawabnya kembali. “Kopi bercampur aroma rasa Anggur. Saya selalu melihat beberapa tanggapan dari mereka, mereka bilang begitu unik, katanya. Hehehehe. Tapi bersyukur, dan mampu membuat saya lebih fokus kepada kopi bearoma buah. Tapi tak lupa juga, kopi yang benar-benar rasa kopi. Kalau buah, itu cuma selingan tapi harus ikut serius juga.”
            “Oke. Apa dari café ini sudah punya cabang?”
            “Belum. Baru disini. Mungkin, satu saya akan buka cabang di Bandung. Doakan saja.” Jawabnya tersenyum.
            Aku pergi dengan hormat, tak lupa memesan satu kopi lagi, kopi aroma buah-buahan. Aku memilih rasa Anggur. Tepat dimana masyarakat menilai rasa kopi itu sendiri. Tadinya, aku memesan kopi cokelat yang lebih full cokelatnya. Lumayan untuk meningkatkan gairah menulis berita, sebagai seorang pengganti dari teman sesame profesi. “Aku tinggal nulis berita dulu gak apa-apa, kan, ya?” tanyaku. Dia menggeleng. “Baguslah.” Aku tertawa sesingkat. Menunggu kopi aroma rasa Anggur datang ke mejaku. Melly diam, menatap handphone-nya di saat aku mulai menulis berita sekarang.
            “Karena seorang pekerja pahlawan harus menuruti masyarakat, kan?” katanya tiba-tiba saat tengah sibuk menulis. Aku diam. Tidak memandanginya. Malah mendengar apa yang diucapkan Melly tadi.
            Aku tertawa, menggeleng pelan. “Bisa aja.”
            “Emang bener, kan? Beberapa kali aku pernah bilang soal ini sama pekerjaan kamu. Pekerjaan mulia dan pahlawan bagi bangsa, kan?”
            “Iya, iya, deh. Makasih!” jawabku riang. Terus menulis hingga terkumpul lima halaman.
            Tak lupa mengambil beberapa objek didalam tempat ini. Aku memilih tuk mengambil gambar dari dalam suasana café. Suasana yang terlihat begitu nyaman dipandang. Atau jika kamu berimajinasi, imajinasi berputas melihat suasana ini seperti ingin kamu jadikan tempat tinggal saja. Yang setiap hari selalu bernuansa minuman kopi. Kopi aroma buah Anggur belum aku sesap. Aku menjawab “Iya” saat pesanan itu datang tanpa memandang pelayan karena aku sibuk sekali merangkai berita.
            “Kopinya tuh, gak di minum?” mata Melly menatap terus ke kopi yang ada di sebelahku.
            Aku langsung menanggapnya. “Aku lagi editing kata-kata dulu.” Ya, semua sudah rampung, aku langsung mengoreksi lewat dariku sebelum nantinya berpindah jalur lewat bagian editing. Aku menyicilnya, sebelum bagian editing yang akan membereskannya. Dan melihat-lihat rangkaian berita yang sudah kubuat tadi. Semuanya beres, dan semuanya telah rampung sesuai fakta dari lapangan. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Yusril, berkatnya, aku sekaligus menikmati liburanku bersama kopi.
            Kepalaku mulai kugerakkan ke kanan dan ke kiri. Tulang-tulang leher berbunyi, lalu menyambung di pargelangan tangan. Jari-jariku, terutama. Hasil mengetik berita. Berita tentang café kopi yang mempunyai menu unik dipandang masyarakat. Juga dipandang bagiku. Kuambil cangkir putih yang belum aku sesap, sebuah kopi yang masih terlihat penuh. Lidahku bermain, ikut merasa. Lidah yang kumainkan didalam mulut, merasakan rasa kopi bercampur Anggur yang menjadi satu. Begitu enak. Dan benar, kopi ini yang selalu di nilai di mata masyarakat yang menyukainya.

Tulisan cerpen ini, dalam rangkaian acara kompetisi yang diselenggarakan oleh @Econochannel dengan hastag lomba #Great3rdCOMPETITIONFEUNJ dari Universitas Negeri Jakarta 2016.
           

            

Untuk Mereka

 Tema: “Pers Sebagai Pahlawan”
#Great3rdCOMPETITIONFEUNJ

Pemberitaan kemarin salah satu berita yang membuat aku tegang, sekaligus takut. Coba saja, aku meliput sebuah kejadian konflik kerusuhan ‘Tawuran’ antar warga juga anak muda. Genggaman tangan untuk mengambil gambar tak lepas melihat ke arah lain. Kalau-kalau ada benda melayang yang nyasar menimpaku. Aku seorang wartawan yang bekerja di surat kabar Media Indonesia. Sekaligus Cerpenis yang selalu ku isi di surat kabar tempat dimana aku bekerja.
            Kebetulan, selama aku menjalankan profesi sebagai Jurnalis selama lima tahun, aku begitu memiliki pengalaman yang begitu ganda. Mendapat pekerjaan seperti ini, juga tanda pengenal Pers bernama diriku sendiri, Aryo. Pengalaman pertama ketika aku bertemu musisi hebat dari mancanegara, yang manggung di Indonesia. Menulis berita tentang mereka memang sudah menjadi setiap hari dimana aku selalu menjalankan aktivitas bekerja seperti ini. Dan selalu membuat berita yang baik untuk menyegarkan mata masyarakat saat mata mereka akan membaca informasi di surat kabar yang terbit keesokan harinya.
            Suara siren Polisi berdatangan, massa itu kabur entah kemana. Hanya aku sendiri, yang mengambil gambar dari kamera, juga menyiapkan isi kepala untuk merangkai berita. “Kamu wartawan dari media mana?” ucap salah satu Polisi berbadan tegap. Berwajah tegas. Juga suara intonasi yang terdengar begitu di segani orang. Daritadi, aku hanya diam, fokus kepada mereka yang kabur saat bidikan kamera berhasil mengambil gambar untuk melalui jalur seleksi. “Saya dari Media Indonesia, Pak,” jawabku, memperlihatkan kartu tanda pengenal diriku sendiri. Sosok polisi itu menganggukan kepalanya, lalu mengangkat HT dan berbicara kepada rekannya untuk memberitahukan tempat kejadian.
            “Mereka kabur. Entah kemana. Jalanan berantakan, bekas-bekas batu yang mereka lempar berbekas di jalan aspal. Sebagian ada yang ngelempar bom Molotov.” Ucapnya.
            “Disini saya sedang mengejar sebagian yang lain. Yang ikut terlibat. Mereka berpencar.”
            “Saya disini mengamankan keadaan.”
            Aku mulai mengikuti langkah sosok polisi berbadan tegap itu. Bernama Julianto yang sedang mengambil beberapa seperti batu-batu, dan pecahan beling dari botol. Aku menulis beberapa barang bukti yang sedang dipegangnya. Dan suara HT itu terdengar kembali. Mengagetkan sosok seorang Julianto itu dengan cepat dan tanggap menjawabnya. “Bagus, bawa kesini orang yang sudah berhasil ditangkap. Kita mintai keterangan!” suara tegasnya masuk ke telinga pendengaranku.
            Tak menunggu beberapa lama, mobil polisi yang katanya sempat berpencar itu datang. Membawa dua orang yang berhasil ditangkap itu. seorang polisi bernama Julianto, berjalan dengan tegap. Menghampiri dua orang itu, lalu segera diintrogasi ditempat. Aku dikerumuni oleh lima wartawan. Sebagian wartawan dari Media Televisi. “Kamu asal mana? Masalahnya kenapa bisa terjadi seperti ini?” tanyanya kepada dua orang itu. Terlihat menundukkan kepalanya. Keduanya itu hanya diam membisu.
            Aku bersiap untuk mencatat jawaban dari dua orang yang berhasil ditangkap. Terus ditatar berupa pertanyaan dari Polisi, mereka akhirnya menjawab juga. “Saya asal dari gang sana, Pak. Gak jauh dari tempat kejadian.” Kata seorang itu berpakaian berwarna biru. Satunya, memakai baju putih hanya diam.
            “Kenapa bisa terjadi ini?”
            “Saya kelompok preman yang selalu buat masyarakat sini resah, Pak,” jawabnya lagi.
            Catatan jawaban dari seorang yang tertangkap bisa aku jelaskan melalui rangkai berita. Sudah jelas keduanya itu, adalah seorang preman. Dari kartu tanda penduduk yang dilihat polisi. Polisi juga menggeledah seorang preman yang memakai baju putih. Terbukti menyimpan sabu di kantong celananya. Mereka keduanya langsung dibawa. Dan aku pergi ke suatu tempat, menyelesaikan pekerjaan ini. Menulis berita dan memulai dari paragraf awal.
            Aku melamun memandang tulisan berita yang setengah kukerjakkan. Takut ada yang salah dalam memilah kata, atau kata-kata yang berujung typo. Aku selalu mendapat tanggapan dari bagian Editing, melihat tulisanku ada yang salah ketik. Mereka begitu jeli, melihat seluruh tulisan berita yang kutulis dan tidak hanya aku, beberapa wartawan yang bekerja juga merasakan hal yang sama. Menulis berita sudah menjadi bagian hidup, sebagai pekerjaan mulia. Juga seperti menulis cerita berupa cerpen yang juga ikut terbit di rubrik hari Minggu harian Media Indonesia.
            Dan mereka, masyarakat. Mereka selalu butuh informasi dari beberapa berita yang selalu muncul. Berita sosial, berita hukum, berita kriminal, berita musik, atau berita lainnya. Hidupku selalu menuruti dan melayani mereka. Sebagai pahlawan untuk dunia. Sadar, bahwa pekerjaanku memang benar mulia, dan benar pahlawan. Kusadari kata-kata itu dari beberapa artikel mengenai sosok seorang Jurnalis, atau seorang kekasihku sendiri, Melly. Yang bekerja di suatu perusahaan Bank Dunia.

                                                                        _____

Tempat café di Jakarta begitu lengang, sebentar-sebentar aku melihat beberapa pajangan figura mengenai tulisan seperti kata motivasi hidup. Atau motivasi dalam kopi berbagai macam rasa-rasa. Memang jatahku libur sekarang, namun aku menggantikan Yusril, salah satu bagian wartawan lapangan yang mendapatkan jatah untuk meliput café yang selalu ramai di mata masyarakat yang selalu mereka kunjungi. Aku menerimanya, dan aku ditemani Melly, karena aku yang mengajaknya. Melly tidak repot jika aku tinggal sendirian yang sedang menikmati kopi disana. Isyarat kepalanya menandakkan bahwa aku harus melaksanakan tugas kerjanya. Dan aku pergi menuju bagian officer disana.
            Aku bertemu salah seorang atasan, yang mempunyai beberapa kata-kata jawaban yang siap aku catat tuk dijadikan berita. Dia salah satu pendiri, karena rasa cintanya dengan kopi. Dari hobi, dan pertama kali mengenal kopi dari sosok Ayahnya yang setiap pagi selalu sarapan kopi. “Ayah saya yang menularkan saya inspirasi, hingga terjadilah sekarang. Tapi disini, saya sebagai pengelola juga mengeluarkan beberapa menu kopi yang berbeda dari lainnya. Kadang kopi dicampur rasa buah-buahan.” Ucapnya yang bernama Ferry. Suaranya yang serius, sosok dari matanya yang terlihat terbuka kepada seorang Jurnalis sepertiku yang sedang mendengar beberapa jawaban darinya dan mencatat.
            “Yang mereka suka dari kopi rasa buah-buahan apa, Pak?” tanyaku lanjut.
            Dia mengangguk, segera menjawabnya kembali. “Kopi bercampur aroma rasa Anggur. Saya selalu melihat beberapa tanggapan dari mereka, mereka bilang begitu unik, katanya. Hehehehe. Tapi bersyukur, dan mampu membuat saya lebih fokus kepada kopi bearoma buah. Tapi tak lupa juga, kopi yang benar-benar rasa kopi. Kalau buah, itu cuma selingan tapi harus ikut serius juga.”
            “Oke. Apa dari café ini sudah punya cabang?”
            “Belum. Baru disini. Mungkin, satu saya akan buka cabang di Bandung. Doakan saja.” Jawabnya tersenyum.
            Aku pergi dengan hormat, tak lupa memesan satu kopi lagi, kopi aroma buah-buahan. Aku memilih rasa Anggur. Tepat dimana masyarakat menilai rasa kopi itu sendiri. Tadinya, aku memesan kopi cokelat yang lebih full cokelatnya. Lumayan untuk meningkatkan gairah menulis berita, sebagai seorang pengganti dari teman sesame profesi. “Aku tinggal nulis berita dulu gak apa-apa, kan, ya?” tanyaku. Dia menggeleng. “Baguslah.” Aku tertawa sesingkat. Menunggu kopi aroma rasa Anggur datang ke mejaku. Melly diam, menatap handphone-nya di saat aku mulai menulis berita sekarang.
            “Karena seorang pekerja pahlawan harus menuruti masyarakat, kan?” katanya tiba-tiba saat tengah sibuk menulis. Aku diam. Tidak memandanginya. Malah mendengar apa yang diucapkan Melly tadi.
            Aku tertawa, menggeleng pelan. “Bisa aja.”
            “Emang bener, kan? Beberapa kali aku pernah bilang soal ini sama pekerjaan kamu. Pekerjaan mulia dan pahlawan bagi bangsa, kan?”
            “Iya, iya, deh. Makasih!” jawabku riang. Terus menulis hingga terkumpul lima halaman.
            Tak lupa mengambil beberapa objek didalam tempat ini. Aku memilih tuk mengambil gambar dari dalam suasana café. Suasana yang terlihat begitu nyaman dipandang. Atau jika kamu berimajinasi, imajinasi berputas melihat suasana ini seperti ingin kamu jadikan tempat tinggal saja. Yang setiap hari selalu bernuansa minuman kopi. Kopi aroma buah Anggur belum aku sesap. Aku menjawab “Iya” saat pesanan itu datang tanpa memandang pelayan karena aku sibuk sekali merangkai berita.
            “Kopinya tuh, gak di minum?” mata Melly menatap terus ke kopi yang ada di sebelahku.
            Aku langsung menanggapnya. “Aku lagi editing kata-kata dulu.” Ya, semua sudah rampung, aku langsung mengoreksi lewat dariku sebelum nantinya berpindah jalur lewat bagian editing. Aku menyicilnya, sebelum bagian editing yang akan membereskannya. Dan melihat-lihat rangkaian berita yang sudah kubuat tadi. Semuanya beres, dan semuanya telah rampung sesuai fakta dari lapangan. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Yusril, berkatnya, aku sekaligus menikmati liburanku bersama kopi.
            Kepalaku mulai kugerakkan ke kanan dan ke kiri. Tulang-tulang leher berbunyi, lalu menyambung di pargelangan tangan. Jari-jariku, terutama. Hasil mengetik berita. Berita tentang café kopi yang mempunyai menu unik dipandang masyarakat. Juga dipandang bagiku. Kuambil cangkir putih yang belum aku sesap, sebuah kopi yang masih terlihat penuh. Lidahku bermain, ikut merasa. Lidah yang kumainkan didalam mulut, merasakan rasa kopi bercampur Anggur yang menjadi satu. Begitu enak. Dan benar, kopi ini yang selalu di nilai di mata masyarakat yang menyukainya.

Tulisan cerpen ini, dalam rangkaian acara kompetisi yang diselenggarakan oleh @Econochannel dengan hastag lomba #Great3rdCOMPETITIONFEUNJ dari Universitas Negeri Jakarta.