Berapa kali
aku telah mengirimkannya secerhah tulisan chatting walau aku tak seperti para
laki-laki lain yang pintar sekali meluluhkan hati seorang perempuan. Tak
seperti diriku, namun aku tahu diri, yang paling penting, aku mengungkapkannya
dengan perasaanku yang jujur. Apakah waktu aku mengungkapkannya itu waktu yang
belum tepat untukku? Masa-masa sekolahku di SMA ini, aku hanya menikmati
beberapa bulan saja untuk menikmati masa-masa sekolah putih abu-abu yang
kukenakan sudah hampir lama. Beberapa para rekan-rekan teman pun, yang awalnya
dekatan, saling bercanda atau tertawa riang, kini telah sirna dan mulai tak
seperti dulu lagi.
Berlama aku menginjak kaki di
sekolah SMA ini selama tiga tahun, tak terasa bahwa aku akan semakin dewasa
dengan umurku dan pikiran yang matang. Walau banyak yang bilang aku bukanlah
laki-laki dewasa, benarkah itu? Katakan saja padaku. Mungkin, beberapa banyak
para murid di SMA yang memiliki yang mereka rasakan masing-masing. Bahagia,
sedih, duka, atau bahkan terluka yang masih masuk dalam kategori sedih. Yang paling aku sering lihat adalah
kebahagiaan mereka yang mereka miliki. Aku pun sama, bahagia yang mungkin aku
rasakan tanpa aku sadari. Seperti hatiku, yang selalu mengatakan, “Dia, dia,
dan dia”. Seorang perempuan berambut panjang yang sudah kenal lama denganku,
dan sekarang akulah pemilik rasa-rasa itu.
Kenangan-kenanganku hampir tak
terlupakan dengannya, menonton film di bioskop berdua dan menikmati film komedi
di malam hari Sabtu. Sekarang, aku bingung dengan apa yang mesti aku lakukan,
terutama seorang perempuan. Lambat laun
sekian berapa bulan kemudian, entah darimana itu rasa-rasa yang datang. Ya,
seorang laki-laki yang berdatangan dengan rasa tanpa permisi atau mengetuk
terlebih dahulu. Suatu waktu aku mencoba untuk mengeluarkan isi yang aku
ungkapkan, aku mengatakannya, “Aku suka kamu.” Rasa suka, dan sudah bercampur
cinta yang aku miliki. Namun lain halnya, dia tak menerima perasaanku, bahkan
aku melihat sebuah percakapan yang ia kirim kepadaku dan kata orang, itu merendahkan
martabat orang. Ah, aku tak peduli dengan ucapan itu.
Beberapa kali laki-laki ini
mengucapkan nama untuk seseorang yang dia cintai? Yang sanggup untuk
menjalankannya secara dewasa? Dan secara pantas untuk diperjalankannya jika
kehendak mengizinkan? Aku sangat berharap, walau aku berucap, “Aku ingin bisa
mengungkapkannya lagi dan berusaha untuk meyakini.” Tetapi, kemarin pada hari
Selasa, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, aku tak tahu siapakah ia lagi.
Aku tak mau berburuk sangka. Aku melihat seorang lelaki memegang tangannya ia
dengan lama. Dan aku hanya terpaku melihatnya, meski sekarang aku berdiam diri
saja, mencobanya kembali dengan perlahan.
Dan banyak yang aku lihatkan dan tak
mau aku tulis disini, ya, sampai sekarang rasa-rasa ini masih terus berganjalan
di hati. Akankah aku bisa meraih ia lagi? Apakah aku bisa menggapai seseorang
itu? Kalau bisa, aku ingin mendapatkannya bukan hanya sekedar memiliki, namun
aku ingin menyentuh hatinya, dan aku tak peduli keburukan dan kebaikannya.
Karena aku pun sama, kebaikan ada, dan keburukan rupa busuk pun ada. Akankah
aku diberi kesempatan lagi untuknya? Aku berkali-kali mengucapkan kata dan nama
untuknya dengan sepenggal doa-doa. Nyatanya, aku belum tahu kemudian. Aku
bukanlah seorang pengejar cinta, seperti yang dikatakan dia, tidak! Aku bukan
itu.
Aku hanya secara jujur dan secara
bersikap baik untuk membicarakannya ini. Sumpah, aku tak mau menyesal di
kemudian harinya. Aku selalu takut dengan itu. Apakah aku pengecut? Tidak,
namun memang itu. Sekarang pun, mungkin aku bisa mengungkapkannya pertama kali,
tetapi dengan kedua kalinya kini? Aku belum tahu untuk waktu yang bisa
menyelaraskan keadaan. Apakah aku bisa menggapai dia? Dan sepenggal terakhir:
Aku mencitaimu dengan jujur.