Powered By Blogger

Sunday 21 December 2014

Sumber Foto www.zapos.com



                           MACBETH From Dad

oleh: Aflaha Rizal

Aku tak menyangka, di liburan mau mengenjak akhir tahun 2014 ini. Aku tak menyangka ayah mengasihkan ku sepatu MACBETH, padahal aku pernah melihat sepatu itu. Harganya memang sangat mahal, malahan bagiku sepatu seperti itu hanya di pakai untuk orang-orang yang pergaulannya tinggi. Hari ini, di jam siang tadi. Ayah mengajakku ke sebuah tempat mall di kawasan Pondok Indah(PIM). Awalnya, ayah mengajakku untuk jalan-jalan. “Ngapain di rumah, kamu libur panjang di rumah melulu. Ayuk keluar.” Ucap ayahku.

Di jam siang, saat sudah sampai di mall Pondok Indah, aku berjalan melihat orang-orang yang berkunjung disini. Saat itu, di lantai bawah ada ICE SKATING. Aku langsung diajak ke tempat sepatu-sepatu. Dan berhenti sejenak, ayah menepuk pundakku. “Pilih cepet! Yang mana yang kamu suka.” Aku memelototkan mataku, apa? Sepatu MACBETH? Aku mulai melihat-lihat, ternyata banyak sekali sepatu MACBETH yang terpajang disana. “I-ini serius? Mahal, bapak.” Gerutuku sejenak.

“Sudah, gak apa-apa. Itung-itung kado dari rapot kamu yang bagus.” Kata ayahku, aku berjalan dan mencoba mencari-cari sepatu MACBETH yang menurutku bagus. “Ayuk buru, pilih. Gak usah liat harga.” Ayahku terus mendorong pelan pundakku. Aku menggigitkan bibir bawahku, dan mengambil salah satu sepatu MACBETH BRIGHTON. Kucoba saat itu, ternyata kekecilan. Dan sejenak, seorang yang bekerja di toko sepatu itu. Mengambilkan ukuran yang lebih besar. Aku mulai duduk, dan masih melihat-lihat sepatu MACBETH yang terpajang.

Tak lama, sepatu yang berukuran besar mulai datang dan segera ia buka. Aku langsung mengambil sepatu itu, dan mencoba kedua-duanya. Kuikat sepatu itu, lalu aku berdiri dan mencoba berjalan. “Pas gak?” tanya ayahku yang menanyai bagaimana ukuran sepatu yang aku pakai ini. “Muat, gak sakit.” Jawabku.

“Yasudah, ambil yang ini deh.” Ayahku langsung menyuruh seseorang yang berjaga di toko sepatu MACBETH itu, langsung ia bawa ke kasir. Tapi kulihat harganya, saat itu aku melihat harga itu sebesar 845.000.
Dan sepatu itu, mulai dibawa ke kasir. “Kamu emang gak mau liat-liat sepatu MACBETH yang lain dulu?” tanya ayahku kembali, bahkan aku melihatnya lagi. Dan aku melihat sepatu MACBETH yang lain, itu harganya lebih mahal lagi. 1,3 Juta. Memang, barang sepatu itu memang original. Dan aku memutuskan untuk memilih sepatu yang MACBETH BRIGHTON saja. “Yang itu ajalah, cukup.”

Sehabis membayar di kasir, kantong plastik itu mulai ku pegang. Dan berjalan ke tempat yang lain, yang pasti aku masih memikirkan harga sepatu yang mahal itu. “I-ini kemahalan, lho bapak.” Kataku. Ayahku tersenyum, “Sudah. Gak apa-apa. MACBETH From Dad. Hahahaha. Jaga baik-baik lho.” Aku ikut tertawa, aku sekali lagi berterima kasih kepada ayahku. Yang sudah mengasihkanku sepatu di akhir tahun ini. Mungkin, aku akan membalas budi ayahku ketika aku sudah berhasil dan bisa mencapai semua impianku :) .

Tuesday 16 December 2014



                                      Jari-jariku

Bagiku, jari tak bisa saja untuk makan, menggaruk, bahkan mencakar-cakar sampai kukunya patah. Bagiku, jari-jari di seluruh tanganku. Membuatku bisa memegang dagu wajahmu ketika kamu lesu. Aku selalu memegang dagumu dengan jari-jariku, sampai-sampai kau menoleh dan menatap kepadaku. Yang pasti, kau selalu bilang, “Apa? Kenapa? Uh…” dan raut wajahmu terlihat pasrah, kau tahu, aku selalu menemanimu. Apapun itu.
Aku selalu menggunakan jari-jariku dengan baik, memegang tanganmu, mencubit gemes di lenganmu, dan juga pipimu. Bahkan, jari-jariku terkadang di balas olehmu seperti perang. Saat jari-jari kita terikat saat kau dan aku berperang jari, karena aku suka mencubit gemas. Kau tak bisa melepaskannya, bahkan jari-jari kita sudah mengikat. Apa aku benar-benar tak bisa melepasmu? Sungguh, dalam hatiku. Iya, aku tak bisa melepasmu. Karena jari-jari kita terikat, sulit untuk di lepaskan. Perlahan, dan perlahan. Akhirnya, jari-jari kita bisa kita lepaskan.
Jari-jariku merasakan seperti sakit, apakah kita terlalu kasar tadi melepasnya? Aku rasa, aku merasakannya, apakah kamu juga? Kurasa kamu lebih menutup dirimu, sehingga kamu dari raut wajahmu kamu tidak terlihat kesakitan. Jari-jari ku bergerak dengan sendirinya, tak bisa diam sama sekali. Tapi aku kontrolkan, ternyata perlahan bisa. Bagiku, jari-jari yang ada di tangan ini, seperti layaknya kita memelihara binatang. Tak bisa bermain dengan sembarang, mencuri barang, pasti jari-jari kita terlipat dan memegangi barang yang kita curi itu.
Jari-jari ini, bisa kita pergunakan dan bisa kita pelihara dengan yang baik. Walau ini hasil dari yang maha kuasa, sang maha kuasa itu menitipkan tangan dan juga jari-jari untuk mempergunakan sesuatu. Salah satu kupergunakan sesuatu, adalah memegang dagumu dan menatap ke wajahku, mencubit gemes di lengan dan di pipi, sehingga kalau kamu kesal. Kau membalas dengan jari-jarimu, disitulah kita berperang dengan jari-jari.
Tak juga itu, aku selalu menghapus ketika kamu menangis, dengan jempolku. Saat kau menurunkan air mata, aku selalu menghapus air matamu. Saat kamu mengeluarkan air matamu, aku selalu bilang. “Kamu kenapa, kalau ada apa-apa. Ada aku disini.” Kau menurunkan kepalamu di pundakku. Aku juga selalu bermain jari-jariku untuk mengelus rambutmu yang panjang ketika kau menundukkan kepalamu di pundakku. Ketika kau mencariku, dimana pun aku berada, aku selalu siap dengan jari-jariku untuk menghapus air matamu, mengelus rambutmu, mencubit gemes di lengan dan di pipi, juga memegang dagumu. Sehingga kamu mengetahui, bahwa aku ada untukmu, disampingmu, sampai selamanya.

Saturday 13 December 2014



                   Ketika ku mendengar suaramu

oleh: Aflaha Rizal

Suaramu begitu indah yang dilontarkan, cara bicaramu, suara bercanda mu, bahkan suara tertawa mu. Aku jatuh hati kepadamu, saat awal perkenalan kita di bangku kuliah. Begitu kau yang aku menyangka kamu lelaki yang gak baik, kurang ajar. Tapi aku salah menduga, kau begitu baik kepadaku. Bahkan kau juga membantuku dalam hal tugas-tugas kuliahku.

  Saat kita berdua makan di restoran di siang hari, menemanimu karena kelelahan, aku melihat raut wajahmu yang begitu lelah. Tapi, dalam hatiku berkata. “Walaupun kamu lelah, tapi kamu harus makan.” Ketika kau bertemu dengan minuman Jus Jeruk, kau langsung menyedotnya. Menghilangkan dahaga di tenggorokan walaupun makanan yang di pesan belum kunjung datang karena pengungjung ramai sekali di restoran itu. Aku tersentak kaget saat kau memegang tanganku, wajahku berubah merah, kau pun begitu tersenyum melihatku yang seakan-akan aku gugup dan ketakutan seperti melihat hantu.

                                                “Kamu kenapa? Gugup gitu?” tanyamu, aku salah tingkah untuk menjawabnya.
                                                “Ga-ga-gak apa-apa, kok.”
                                                “Makasih, ya. Udah nemenin aku makan disini.” Katamu saat itu, bahkan kau pun memegang kedua tanganku.

  Aku berusaha tersenyum kepadamu, supaya aku tidak terlalu gugup berlebihan di depanmu. “Iya, sama-sama.” Saat pesanan datang, pesanan yang kau pesan berupa Bistik Sapi dan aku Sayur Asam kesukaanku. Kita menikmati saat itu bersama-sama, kau begitu lahap memakan Bistik Sapi itu. Apakah kau benar-benar lapar? Aku menikmati demi menikmati Sayur Asam ini, aku benar-benar rindu dengan makanan ini.

                                                “Minuman kamu belum dateng ya?” tanyamu.
                                                “Belum, lama nih.” Jawabku lesu.

    Beberapa menit saat aku menunggu minuman yang kupesan, Teh Lemon. Akhirnya pun datang juga, aku segera memberikan terima kasih dan senyuman kepada pelayan restoran itu. Cepat-cepat, aku menyedotnya. Tapi saat kau melihat aku sedang menyedot Teh Lemon, kau begitu menyuruhku untuk berhenti menyedotnya. “Tunggu! Ada sesuatu di dalam minuman yang kamu sedot.” Katamu, sambil menghentikan.

                                                “Ada apa?” alisku menaik keduanya.
                                                “Sini, sebentar.” Kau menarik gelas yang berisi Teh Lemonnya, mengambil sesuatu yang aku kenal. Itu cincin.

  “Ini buat kamu, aku sengaja memasukkan cincin ini ke minuman kamu.” Kau langsung menarik tanganku yang di bagian kanan, kau memasang cincin itu di jariku. Saat cincin sudah terpasang, kau menatapku lama. “Aku cinta sama kamu, my heart.” Katamu, apakah aku salah mendengarnya? Ternyata tidak, aku benar-benar mendengar jelas kata-katamu. “Aku juga.” Kau begitu mencium tanganku, dan memegang erat tanganku yang seakan-akan aku tak boleh pergi kemana-mana. Ku terus tatap matanya, dan tersenyum di bibirku. Siang itu, aku merasakan getaran yang saat itu aku merasakan rasa yang sama terhadapnya.