Powered By Blogger

Monday 9 October 2017

Tidak Berkata-kata



Mungkin sebagian orang, menganggap diriku adalah orang yang tidak mau membuka suara. Bagi sebagian, aku bebas bersuara dan bisa paham apa diriku sesungguhnya pada mereka. Barangkali, atau kau, menganggap aku sedang bercerita tentang masa kecilku hingga sekarang. Aku menceritakan diriku yang pernah jatuh cinta oleh seorang perempuan di masa sekolahku. Waktu itu Sekolah Dasar. Aneh sekali, masih kecil saja aku sudah jatuh cinta. Barangkali, hormon ku memang naik drastis. Tidak tahu mengapa, aku bisa berubah dengan cepat. Lingkunganku, aku lebih banyak diam dan mereka terus mengejekku. Apapun bentuknya. Kali ini, sungguh aku tertawa untuk masa ku sekarang. Aku menangis kala itu. Ya, menangis dan cengeng sekali.
            Paling tidak, aku tidak ada bedanya dengan dirimu yang lebih membanggakan kau nakal, kau bisa berkelahi. Demikian aku, aku pernah berkelahi lantaran aku selalu di ejek mereka dan mereka mengasingkanku. Perempuan yang membuatku jatuh cinta itu, tidak mau kepadaku dan lebih banyak mendiamkan hadirku. Ia pernah bilang dengan gamblang, jika masa sekarang sungguh perkataan itu tidak wajar sekali untuk diriku. Barangkali kau, yang pernah atau merasakan masa-masa ku. “Kau cupu. Dan kau tidak laki-laki.”
            Aku selalu jatuh cinta dan selalu sakit hati. Namun ke semua, aku tidak berkata-kata. Aku jatuh cinta oleh perempuan lain yang mau menerima saya sebagai pacar. Namun tidak lama hubungan itu putus. Aku sakit hati. Tapi, lebih banyak aku tidak berkata-kata ketimbang aku berkata-kata. Lebih baik, jalanku, menulis imajiku sudah membawaku pada liang berkata-kata. Masa-masaku yang sekarang, aku sedang berubah diri. Aku ingin lebih banyak berkata-kata ketimbang diam. Mereka mengucap itu, karena aku adalah pendiam dan cupu. Jarang sekali berbicara. Berkelahi pun terpaksa jika rasa sakitku sudah melambung tinggi dan sudah di batas kadar yang tidak amat wajar. Membawa luka memar di sekujur wajah ke rumah.
            Waktu itu, pacarku berbicara mengenai hal lain. “Paling tidak aku beruntung memilikimu.”  Ia bilang, bahwa aku berbeda dengan lelaki lain. Katanya, ia tidak suka lelaki liar dan lebih suka lelaki yang kalem dan tidak bermacam-macam. Paling tidak, mengembangkan hobi yang lebih bermanfaat. Tapi kata itu sudah palsu, nyatanya ia, dahulu, berpacaran dengan lelaki liar ketika ia meninggalkanku. Sekarang tidak ada kabarnya. Kabar yang terakhir, ia sedang menulis status di media sosial tentang rasa sakitnya. Ia tidak berkata-kata kepadaku lagi.
            Aku sedang tidak ingin berkata-kata tentang itu. Paling tidak, aku pernah tidak mau keluar dari penjara hidupku yang amat merantaiku. Sama sekali, aku jarang sekali memiliki teman, tentunya.

_____

Aku sedang berkata-kata pada malam acara Sastra di Universitas Indonesia beberapa bulan yang lalu. Pihak fakultas Sastra mengundangku sebagai perwakilan penyair. Ia tahu aku sudah menulis dua buku. Tapi dia berharap aku mengasihkannya secara gratis. Aku berkata-kata tentang puisi yang dimana, aku terpenjara dengan orang-orang yang selalu jahat dan selalu menghina. Barangkali, mereka mendengar bahwa aku sedang ingin bunuh diri. Resahku akan berujung bunuh diri di hari esok atau bahkan hari ini waktu pulang lekas dari acara itu.
            Aku tidak berpacaran kala itu. Sudah banyak rasanya aku lebih memilih untuk tidak bermain cinta dulu. Ayahku berkata, “Anak Universitas Indonesia itu cantik-cantik. Apalagi jurusan Sastra Internasional.” Ya, aku melihat mereka. Mereka cantik sekali. Laki-laki sepertiku mampu menyalakan kobaran api untukku sendiri. Aku tetap menjadi pendiam dan hanya berteman kepada buku. Aku selalu menanamkan kata-kata dari salah satu penyair yang hilang itu, Apa gunanya membaca buku kalau mulut kau bungkam melulu. Itu membuatku tersentak dan membuatku geram sendiri. Aku tidak berbicara mengenai buku yang aku baca kepada teman-temanku yang jarang sekali membaca buku.
            Barangkali aku bertema novel, buku yang selalu kubawa setiap perjalanan maupun ke kampus. Dan puisi yang selalu kutulis. Selalu berimajinasi bahwa aku sedang bersama perempuan yang lebih baik lagi. Nyatanya, dunia sudah mencekamku bahwa perempuan mana pun banyak yang tidak mau denganku. Dengan alasan aku tidak modis dan aku tidak memiliki uang yang bisa membiayai mereka. Aku rindu pada mantan kekasihku yang pergi dan lebih banyak menerimaku sebagai lelaki sederhana. Itu kala sekolah. Sekolah memang selalu penuh dengan hal jatuh cinta ketimbang di masa kuliah sekarang.
            Trauma, kau tahu, seperti pohon yang masih menyisakkan luka bekas sayatan golok yang gagal untuk ditebang. Aku trauma jatuh cinta. Kepada Ayah, aku pernah berkata itu, dan juga teman yang satu paham denganku yang sangat baik mau menerimaku. Barangkali sama jawabannya dengan Ayahku. “Lebih baik kau menikah saja lah. Daripada kau sakit berpacaran itu. Kalau menikah singkat. Perkenalan, lalu langsung saja beberapa bulan menikah.”
            Perihal lain, aku hanya dekat dan hanya pergi dengan luka. Sama saja seperti pacaran bukan? Dekat dengan seseorang namun tidak jadi kau miliki, dan pergi dengan luka? Sama saja bukan? Aku menganggap bahwa mantanku sudah banyak. Aku tertawa. Padahal, resminya, aku hanya punya beberapa mantan. Lainnya, adalah dekat dan dekat namun tidak jadi berjalan hubungan.
            Terkadang, hati memang lelah untuk mencintai siapa-siapa yang mungkin kau layangkan pada pikiranmu, bahwa kau ingin bahagia. Tapi, aku lain. Aku tidak berkata-kata tentang itu. Aku sama sekali tidak ingin mengucapkan, bahwa aku harus banyak berkata-kata jika ingin mendapatkan cinta seorang perempuan. Barangkali tidak. Sekarang, ada seseorang yang sedang menyukaiku namun aku diam. Di kampus. Namun aku tidak mengetahui itu dengan pasti.

_____

Tapi aku benci dengan hujan. Tapi aku kadang menyukai. Aku terjebak kala aku berjalan sendiri di sebuah tempat mall kota. Aku sedang berjalan untuk memotret objek lewat kameraku. Tapi tidak lupa aku membeli satu buku. Perempuan itu, yang selalu di bayanganku, tidak tahu bagaimana ia gerangan dan bagaimana ia mau berjuang duluan. Aku sudah malas sekali berjuang duluan. Tidak berkata-kata. Tapi memang begitulah adanya, aku memang terkadang rumit dan terkadang sulit sekali berbicara dengan seseorang yang selalu mengintimidasiku melalui kontak mata.
            Paling tidak aku berterima kasih. Siapapun itu, cintailah aku dengan tanganmu dan jalan yang sederhana. Tegurlah aku yang tidak berkata-kata ini, untuk mendengarkan aku berkata-kata kepada kau. Masa laluku adalah masa lalu. Dengan begitu, aku sudah berada di jalan yang aman. Aman untuk mencintai jika kau atau barangkali perempuan itu, mau mencintaiku duluan dan mau membuka kepercayaanku duluan.
            Tetap hujan. Aku sedang menunggu di kala langit bercerita yang selalu berbuah sedih. Hujan adalah sedih. Orang-orang lebih banyak berlari atau mungkin meneduh di atap yang lain. Mereka yang sedang di dalam mall, surga bagi mereka yang sedang berpesta makanan. Tapi langit memang selalu membicarakanku untuk berkata-kata kepadanya. “Kalau aku tidak berkata-kata, bahwa itu aku mencintai mereka. Orang-orang. Terutama dirimu.”

Oleh: Aflaha Rizal
             
           

Sunday 9 July 2017

Sesuatu Kata Yang Lain Dari M. Aan Mansyur


(Aan Mansyur, saat sedang menjelaskan materi tentang Menulis Kisah dalam Sajak di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu, 08 Juli 2017).

“Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisah kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang…” Begitulah saat Aan Mansyur, yang disapa akrab Bang Aan, membacakan puisi yang berjudul Batas dari salah satu buku Tidak Ada New York Hari Ini. Pembacaan puisi tersebut, dari salah satu hadirin yang bertanya juga mengabulkan permintaan untuk membacakan salah satu puisi yang akan terdengar dari suara milik Aan sendiri.
            Beliau yang datang dengan memakai kacamata dan kemeja putih, menjelaskan tentang kepenulisan puisi dari setiap kisah-kisah hidup. Juga menulis yang Aan terangkan kepada audiens yang rata-rata anak muda berdatangan, adalah salah satu seni berpikir dalam kepala. “Seni berpikir itu adalah, yaitu bagaimana kita menuliskan sesuatu dan memandang lain cara mengungkapkan,” ujar Bang Aan. Bahasa yang di paparkan, merupakan bahasa-bahasa lain. Aan sendiri, terdengar berat kosakata saat menjelaskan materi dan menggunakan konsonan kata dan berupa majas-majas yang hanya anak Sastra Indonesia yang mengetahui. Namun, membuat audiens beberapa mengerti tentang percakapan Bang Aan Mansyur tersebut.
            “Seorang penyair, menurut saya adalah pekerjaan tentang meragukan diri sendiri.” Ucapnya lagi. Yang secara langsung mengemas sebuah kata penyair sebagai pekerjaan meragukan diri sendiri melalui sebuah kata-kata. Menurut Aan, setiap puisi-puisi yang pernah Aan buat, adalah mengundang sebuah pertanyaan dan kemudian menjawabnya. Tentu, masa kecil Aan yang setiap bangun tidur, memiliki dua puluh pertanyaan yang harus di jawab. Sebagaimana puisi, menurut Bang Aan, adalah cara lain mengungkapkan atau menjawab hal-hal sekitar dari pandangan.
            “Puisi juga bukanlah sesuatu yang indah dari kata-katanya, tapi ada cara lain yaitu bagaimana kita mengungkapkan sendiri dan memiliki cara pandang lain,” kemudian Aan Mansyur memaparkannya kembali. Cukup ramah beliau menyampaikan materi, meskipun beliau adalah seorang yang pendiam dari luarnya. “Kalau kamu, belum mengenal Mas Aan, pasti kamu menganggap saya ini adalah orang yang pendiam. Saya cerewet tentunya, jika kamu sudah mengenal saya.” Kemudian menjelaskan lagi diselingi tawa oleh hadirin yang mendengar.
            Metafora sendiri, dari sebuah kata-kata, Aan mengucapkan bahwa Metafora dalam kata bukanlah sesuatu kata yang indah. Melainkan ada beberapa pertanyaan maksud lain dari sebuah kata Metafora. “Dan saya melihat kata Metafora di bahasa Inesia, dan bahasa Latin sungguh berbeda. Di bahasa Inesia, Metafora adalah sebuah kata-kata indah yang kita ucapkan, atau yang mau kita tuliskan. Tapi maksudnya, bukan seperti itu,” ujarnya, dengan pengucapan kata bahasa Indonesia dengan Inesia karena berdarah Bugis tersebut. “Dalam contoh, misalkan dia cantik, kata Metafora bermaksud, kenapa dia cantik?” Aan memberikan pertanyaan tentang Metafora. Dan membuat hadirin turut mengerti akan kata Metafora yang selalu dikaitkan dengan kata-kata yang indah pada buku Pelajaran Bahasa Indonesia.
            Acara yang bertempatan di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Sabtu kemarin, merupakan hal yang tepat dalam mengusung acara hingga mengambil sebuah tempat pada arena kesenian adat rumah yang terdapat di beberapa gang-gang Kompas Gramedia dan Tribun News tersebut. Acara yang memiliki kuota terbatas untuk bertemu dan mendengar perbincangan Mas Aan dalam penulisan puisi, sesuatu hal lain dimana kata-kata Mas Aan menjadi cukup bekal dalam ilmu yang ingin menjadi penulis apapun. Puisi, Cerita Pendek, ataupun Novel.
            “Jika saya puitis, tentu kamu harus melihat hal yang lain. Bahwa masih ada yang lebih puitis dari saya, contohnya yang pembuat film-film. Itu, tentu lebih puitis dari saya,” ungkapnya lagi. Acara yang ditutup pada jam 18.00 WIB cukup antusias ketika selesai hadirin mengantri untuk meminta tanda tangan dari setiap karya Aan Mansyur, dan juga hanya untuk sekedar foto bersama.
            Aan Mansyur, salah satu penulis puisi dari kota Bone, Sulawesi Selatan, dan bekerja di sebuah Pustakawan Katakerja di Makassar. Karya-karya beliau antara lain: Aku Hendak Pindah Rumah(2008), Cinta Yang Marah(2009), Tokoh-tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita(2012), Kukila(2012), Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia(2014), Melihat Api Bekerja(2015), Tidak Ada New York Hari ini(2016), Sebelum Sendiri(Jual Buku Sastra, 2017), Cinta Yang Marah(2017), dan Perjalanan Lain Ke Bulan(2017).

Penulis: Aflaha Rizal

 (Gue sendiri, bersama salah satu makhluk dalam setiap kata-kata yang mampu memberikan pencerahan dalam kata-kata setiap yang mau membuat karya, M. Aan Mansyur).




                             (Dua buku karya M. Aan Mansyur yang ditandatangani olehnya).