Mungkin sebagian
orang, menganggap diriku adalah orang yang tidak mau membuka suara. Bagi sebagian,
aku bebas bersuara dan bisa paham apa diriku sesungguhnya pada mereka.
Barangkali, atau kau, menganggap aku sedang bercerita tentang masa kecilku
hingga sekarang. Aku menceritakan diriku yang pernah jatuh cinta oleh seorang
perempuan di masa sekolahku. Waktu itu Sekolah Dasar. Aneh sekali, masih kecil
saja aku sudah jatuh cinta. Barangkali, hormon ku memang naik drastis. Tidak
tahu mengapa, aku bisa berubah dengan cepat. Lingkunganku, aku lebih banyak
diam dan mereka terus mengejekku. Apapun bentuknya. Kali ini, sungguh aku
tertawa untuk masa ku sekarang. Aku menangis kala itu. Ya, menangis dan cengeng
sekali.
Paling tidak, aku tidak ada bedanya
dengan dirimu yang lebih membanggakan kau nakal, kau bisa berkelahi. Demikian
aku, aku pernah berkelahi lantaran aku selalu di ejek mereka dan mereka mengasingkanku.
Perempuan yang membuatku jatuh cinta itu, tidak mau kepadaku dan lebih banyak
mendiamkan hadirku. Ia pernah bilang dengan gamblang, jika masa sekarang
sungguh perkataan itu tidak wajar sekali untuk diriku. Barangkali kau, yang
pernah atau merasakan masa-masa ku. “Kau cupu. Dan kau tidak laki-laki.”
Aku selalu jatuh cinta dan selalu
sakit hati. Namun ke semua, aku tidak berkata-kata. Aku jatuh cinta oleh
perempuan lain yang mau menerima saya sebagai pacar. Namun tidak lama hubungan
itu putus. Aku sakit hati. Tapi, lebih banyak aku tidak berkata-kata ketimbang
aku berkata-kata. Lebih baik, jalanku, menulis imajiku sudah membawaku pada
liang berkata-kata. Masa-masaku yang sekarang, aku sedang berubah diri. Aku
ingin lebih banyak berkata-kata ketimbang diam. Mereka mengucap itu, karena aku
adalah pendiam dan cupu. Jarang sekali berbicara. Berkelahi pun terpaksa jika
rasa sakitku sudah melambung tinggi dan sudah di batas kadar yang tidak amat
wajar. Membawa luka memar di sekujur wajah ke rumah.
Waktu itu, pacarku berbicara
mengenai hal lain. “Paling tidak aku beruntung memilikimu.” Ia bilang, bahwa aku berbeda dengan lelaki
lain. Katanya, ia tidak suka lelaki liar dan lebih suka lelaki yang kalem dan
tidak bermacam-macam. Paling tidak, mengembangkan hobi yang lebih bermanfaat. Tapi
kata itu sudah palsu, nyatanya ia, dahulu, berpacaran dengan lelaki liar ketika
ia meninggalkanku. Sekarang tidak ada kabarnya. Kabar yang terakhir, ia sedang
menulis status di media sosial tentang rasa sakitnya. Ia tidak berkata-kata
kepadaku lagi.
Aku sedang tidak ingin berkata-kata
tentang itu. Paling tidak, aku pernah tidak mau keluar dari penjara hidupku
yang amat merantaiku. Sama sekali, aku jarang sekali memiliki teman, tentunya.
_____
Aku
sedang berkata-kata pada malam acara Sastra di Universitas Indonesia beberapa
bulan yang lalu. Pihak fakultas Sastra mengundangku sebagai perwakilan penyair.
Ia tahu aku sudah menulis dua buku. Tapi dia berharap aku mengasihkannya secara
gratis. Aku berkata-kata tentang puisi yang dimana, aku terpenjara dengan
orang-orang yang selalu jahat dan selalu menghina. Barangkali, mereka mendengar
bahwa aku sedang ingin bunuh diri. Resahku akan berujung bunuh diri di hari
esok atau bahkan hari ini waktu pulang lekas dari acara itu.
Aku tidak berpacaran kala itu. Sudah
banyak rasanya aku lebih memilih untuk tidak bermain cinta dulu. Ayahku
berkata, “Anak Universitas Indonesia itu cantik-cantik. Apalagi jurusan Sastra
Internasional.” Ya, aku melihat mereka. Mereka cantik sekali. Laki-laki
sepertiku mampu menyalakan kobaran api untukku sendiri. Aku tetap menjadi
pendiam dan hanya berteman kepada buku. Aku selalu menanamkan kata-kata dari
salah satu penyair yang hilang itu, Apa
gunanya membaca buku kalau mulut kau bungkam melulu. Itu membuatku
tersentak dan membuatku geram sendiri. Aku tidak berbicara mengenai buku yang
aku baca kepada teman-temanku yang jarang sekali membaca buku.
Barangkali aku bertema novel, buku
yang selalu kubawa setiap perjalanan maupun ke kampus. Dan puisi yang selalu
kutulis. Selalu berimajinasi bahwa aku sedang bersama perempuan yang lebih baik
lagi. Nyatanya, dunia sudah mencekamku bahwa perempuan mana pun banyak yang
tidak mau denganku. Dengan alasan aku tidak modis dan aku tidak memiliki uang
yang bisa membiayai mereka. Aku rindu pada mantan kekasihku yang pergi dan
lebih banyak menerimaku sebagai lelaki sederhana. Itu kala sekolah. Sekolah
memang selalu penuh dengan hal jatuh cinta ketimbang di masa kuliah sekarang.
Trauma, kau tahu, seperti pohon yang
masih menyisakkan luka bekas sayatan golok yang gagal untuk ditebang. Aku
trauma jatuh cinta. Kepada Ayah, aku pernah berkata itu, dan juga teman yang
satu paham denganku yang sangat baik mau menerimaku. Barangkali sama jawabannya
dengan Ayahku. “Lebih baik kau menikah saja lah. Daripada kau sakit berpacaran
itu. Kalau menikah singkat. Perkenalan, lalu langsung saja beberapa bulan
menikah.”
Perihal lain, aku hanya dekat dan
hanya pergi dengan luka. Sama saja seperti pacaran bukan? Dekat dengan
seseorang namun tidak jadi kau miliki, dan pergi dengan luka? Sama saja bukan?
Aku menganggap bahwa mantanku sudah banyak. Aku tertawa. Padahal, resminya, aku
hanya punya beberapa mantan. Lainnya, adalah dekat dan dekat namun tidak jadi
berjalan hubungan.
Terkadang, hati memang lelah untuk
mencintai siapa-siapa yang mungkin kau layangkan pada pikiranmu, bahwa kau
ingin bahagia. Tapi, aku lain. Aku tidak berkata-kata tentang itu. Aku sama
sekali tidak ingin mengucapkan, bahwa aku harus banyak berkata-kata jika ingin
mendapatkan cinta seorang perempuan. Barangkali tidak. Sekarang, ada seseorang
yang sedang menyukaiku namun aku diam. Di kampus. Namun aku tidak mengetahui
itu dengan pasti.
_____
Tapi
aku benci dengan hujan. Tapi aku kadang menyukai. Aku terjebak kala aku
berjalan sendiri di sebuah tempat mall kota. Aku sedang berjalan untuk memotret
objek lewat kameraku. Tapi tidak lupa aku membeli satu buku. Perempuan itu,
yang selalu di bayanganku, tidak tahu bagaimana ia gerangan dan bagaimana ia
mau berjuang duluan. Aku sudah malas sekali berjuang duluan. Tidak
berkata-kata. Tapi memang begitulah adanya, aku memang terkadang rumit dan
terkadang sulit sekali berbicara dengan seseorang yang selalu mengintimidasiku
melalui kontak mata.
Paling tidak aku berterima kasih. Siapapun itu, cintailah aku dengan
tanganmu dan jalan yang sederhana. Tegurlah aku yang tidak berkata-kata ini,
untuk mendengarkan aku berkata-kata kepada kau. Masa laluku adalah masa lalu. Dengan
begitu, aku sudah berada di jalan yang aman. Aman untuk mencintai jika kau atau
barangkali perempuan itu, mau mencintaiku duluan dan mau membuka kepercayaanku
duluan.
Tetap hujan. Aku sedang menunggu di
kala langit bercerita yang selalu berbuah sedih. Hujan adalah sedih.
Orang-orang lebih banyak berlari atau mungkin meneduh di atap yang lain. Mereka
yang sedang di dalam mall, surga bagi mereka yang sedang berpesta makanan. Tapi
langit memang selalu membicarakanku untuk berkata-kata kepadanya. “Kalau aku
tidak berkata-kata, bahwa itu aku mencintai mereka. Orang-orang. Terutama dirimu.”
Oleh: Aflaha Rizal