Powered By Blogger

Monday 28 December 2015

Kelu Saat Menayapa

December, 20, 2015
Orang-orang begitu ramai di dalam kereta ini, kereta yang akan menuju ke arah Bogor. Bojong Gede tempat aku akan turun disana. Aku bisa lega sekarang, bisa duduk di kursi yang empuk sehabis berjalan seharian di kota Jakarta. Hingga sore ini. Buku RUMAH BAMBU yang sejak tadi kubaca, kupegang sesaat waktu tubuhku merasa rileks untuk duduk sembari membaca. Buku kumpulan cerpen yang memasuki cetakan ke-enam di tahun 2012 cukup membuang mood ku yang bosan. Dan ini kudapatkan di sebuah obral buku yang murah.
            Bab mulai dibuka dengan judul ‘Colt’, dan di pertengahan mulai kantuk menyapa. Kupaksa untuk membaca, tak bisa. Disamping, temanku yang semenjak tadi, menemani ke kota Jakarta. Tak hanya berdua, bahkan kami berempat kesana. Hanya sekedar mencari kesegaran dan ketenangan, begitu kata Ferdi. Dia duduk yang tak jauh dari aku walau terpisah, dengan kedua headset yang terpasang dan pandangan kedua mata yang fokus ke gadget-nya. Satunya lagi, Seto, ada di tempat yang berbeda. Namun bisa terlihat disana. Aku mulai menutup mata, buku yang dipegang mulai kutaruh di kedua pangkal pahaku.
            Gelap semua dengan suara kereta dan keriuhan orang-orang yang berbicara, dan pula juga ada yang diam. Sedikit-sedikit mulai terbawa arus ke alam tidur. Mulai nyenyaklah aku sekarang, memutuskan beristirahat sebentar sebelum suara pemberitahuan stasiun kereta yang berbunyi beberapa menit perjalanan.
            Tadinya, ke sebuah festival Stars Wars begitu membuat aku tenang dengan adanya Action Figure disana. Aku tak tahu, sebelum aku berjalan ke Senayan City dari mall fX berjalan kaki. Aku merasa ini langkah yang begitu dekat. Walau pulang-pulangnya hujan-hujanan untuk kembali ke jalan raya mencari bis dan ke Sudirman stasiun untuk pulang.
            Aku lupa tidak membeli kopi di Starbucks hanya sekedar mencicipi di dalam kereta. Bibirku dan juga tenggorakan sepertinya mau kering. Dan juga versi sembari membaca buku RUMAH BAMBU yang beberapa minggu lalu kubeli. Ketika di rumah, mungkin terasa tenang jika kedua orang tuaku dan adik-adikku pada pergi. Kopi dari Starbukcks, buku RUMAH BAMBU, atau tidak menayangkan serial TV untuk sekedar iseng-iseng. Atau ditambah, kartun yang selalu kutonton di sebuah TV kabel langganan yang pernah aku gunakan, Cartoon Network.
            Sekarang, hari yang kurasakan masih dirasakan. Handphone sudah tidak punya. Sudah satu bulan ini semenjak bulan November handphone rusak karena terkena air hujan waktu pulang sekolah. Mungkin memang bodoh. Aku mengutuki diriku itu. “Handphone makanya dijaga, enak, kan gak punya handphone.” Ucap Ayahku, ketika kuberitahukan info ini ketika ia sedang menikmati baca surat kabar Media Indonesia yang dibacanya.
            “Mau bagaimana lagi, Yah. Namanya juga kebawa suasana.” Balasku.
            “Semestinya, kamu kalau ada akal, handphone kamu taro di plastik, biarin tas kamu basah sama buku pelajaran kamu, yang penting komunikasi itu.”
            Sudah dua tahun kupegang handphone Android mini Samsung yang biasa kupakai hanya sekedar internet atau membuka media social yang aku buka otomatis tidak Log in-berapa menit-log out. 2013-2015. Sudah pastinya ini masa berakhirnya. Tak ada musik yang selalu aku dengarkan dari band Good Charlotte, Maroon 5, atau grup band lama seperti The Beatlles. Tak ada juga media social untuk sekedar menyapa teman-teman lama lewat mention Twitter, atau Instagram melihat kreativitas foto-foto yang dipajang disana.
            “Woy, bangun. Woy…” Tepukan pundak di pahaku membuat aku terbangun dengan mata yang memerah. Ganggu aja orang lagi tidur, gerutuku. Kulayangkan pandangan ke seorang laki-laki dengan memakai snapback dengan tatapan menatapku. Kubangunkan tubuhku dan tidak menjawab dari orang itu, seorang Ibu-ibu mulai duduk di tempat sebelah temanku yang tenang sekali tidur. “Heran, kenapa gak dia aja, sih.” Gerutuku lagi, buku RUMAH BAMBU mulai kupegang. Berdiri, dan memegang bundaran kecil menggantung untuk melindungi diri dari kereta yang berhenti mendadak, atau berjalan pelan walau tubuh bergoyang ingin jatuh.
            Sejenak, aku pindah ke lorong kecil yang berjalan kalau mau pindah ke bagian lain untuk mencari tempat duduk kalau sedang kosong. Aku tepat berdiri di dalam lorong kecil dengan didepan temanku yang mendengarkan lagu lewat headset. Didalam lorong ini, sungguh goyang-goyang selama kereta berjalan. Ketika sedikit loncat, aku terbawa, bergoyang pun sama. Lama-lama, buku RUMAH BAMBU kutaruh didalam tas. Kuletakkan tas itu didepan dengan kedua tali tas yang menggantel masih di kedua bahuku. Salah satunya untuk mencari keamanan, hanya tas digantel dengan bagian belakang berpindah kedepan.
            Aku hanya terdiam sekarang. Berdiri. Menunggu pemberitahuan akan sampai ditempat tujuan. Tak sampai beberapa aku terdiam, kucoba menoleh ke arah kanan sesaat. Tatapan kulihat itu menoleh ke arah kanan lagi, dan kucoba pandangi seorang perempuan itu. Sosok yang kukenal. Dengan menampakkan wajahnya sedikit, aku betul-betul mengenai perempuan itu. Perempuan yang dahulu sama-sama berteman di masa SMA. Tiga tahun lamanya, dan sekarang pun mulai agak renggang, bahkan dari satu sama lain seperti orang asing.
            Memang, tak tahu kenapa aku bisa punya perasaan terhadapnya. Gak tahu kenapa ini semua bisa aku rasakan. Terakhir, aku begitu mengungkapkannya. Lalu sejenak, dia menjilati perkataannya sendiri dengan berhubungan oleh laki-laki lain. Terlebih dari temanku sendiri. Aku begitu tak menyangka bisa bertemunya, perasaan ini masih kupendam untuknya. Sesaat suara hati berbicara, “Sapa dia, Aflaha. Sapa.” Namun entah kenapa ini begitu kaku untuk sekedar bilang, “Hai, Win” atau, “Hai, ngapain lo disini.”
            Sekarang, sudah tidak seperti itu lagi. Dulu aku dan dia, sama-sama saling menyapa. Bahkan sekarang, aku dan dia sama-sama jauh. Tak ada percakapan yang lebih seru lagi. Karena ada dia, seorang laki-laki yang baru yang membuatnya terbawa suasana dalam topik pembicaraan. Bahkan aku memarahi diriku sendiri. Tangan Ferdi mengaba untuk aku duduk di sebelahnya yang kosong, aku menolaknya. Karena apa, karena ada dia. Walau jaraknya agak sedikit dekat, dan tidak kusangka juga dia duduk dengan papasan dengan kursi yang aku duduki tadi selama perjalanan berlangsung. I meet you again, I’m need a conversation about everything, and he’s changed.
            Dia memang telah berubah, dan aku sekarang hanya berdiam diri lagi, menatapnya, seolah-olah aku mengetahui dulu yang sama-sama saling bicara. Sekarang sudah tidak. Dari tatapannya saja, sudah terbaca. Cuek, dan seperti tidak mengenaliku lagi. “Kamu bahkan gak tahu bahwa aku masih menyimpan ini semua,” batinku. Harapanku sekarang hanya bisa kupendam. Kuingin bicara lagi, dan kuingin mengatakan semuanya. Aku merasa, ini sudah percuma.
            Masih sering bertemu di sekolah, tak ada menyapa lagi. Bahkan satu kantin saat dimulainya UAS di bulan Desember. Aku hanya membeli makanan bersama temanku sembari berbicara sedikit-sedikit. Lalu tatapan ke arahnya. Yang makan berhadapan dengan seorang itu. Temanku sendiri.
            Yeah, I know but this my heart, not lie. Not lie. I want to said love for you. Actually… this never time for me. Sesaat aku sudah tidak bisa menyapa dia lagi, bahkan satu kereta denganku saja rasanya tidak bisa dengan wajahnya yang begitu sudah kubaca. Batinku tetap berteriak. Namun aku membiarkannya saja. Aku hanya bisa tersenyum disana, melihatnya yang diam terduduk dengan kepalanya yang mengarah ke arah tempat duduk Ferdi yang masih kalut dengan headset yang terpasang.
            Laki-laki itu, yang tadi membangunkanku, berbicara kepada teman lelakinya dengan topik yang sangat apik. Hanya dia saja, yang terdiam, sesekali memandang handphone-nya. Bahkan baju yang biasa dia pakai masih di pegang olehnya. Waktu jalan denganku, dan pakaian yang itu dan tidak tahu apa itu namanya. Baju yang mungkin seperti jas, lalu di samping kedua tangannya, terbelah-belah berwarna biru gelap.
            Kereta tak lama kemudian sampai di tempat arah tujuanku, Bojong Gede. Aku segera turun dan kepala menoleh ke arah belakang melihatnya yang masih angkuh dari wajahnya. Kuhembuskan napasku dan menapaki kakiku di stasiun ini. Bersama Seto dan disusul temanku yang lain. Kereta sejenak menutup pintunya dengan otomatis, dan berjalan lagi dan aku tidak tahu dia akan turun di stasiun mana. Cilebut? Atau Bogor? Bojong Gede habis hujan tadi, becekkan air terlihat dimana-mana. Dan dua petugas yang memegang peluit yang dibunyikan saat kereta lewat untuk mengantarkan calon penumpang ke Jakarta Kota. “Fer, gue ketemu dia tadi.” Aku mulai menjelaskan, bahkan dia sedikit tidak tahu. “Siapa?”
            “Orang yang pernah gue ceritain ke elu.” Kataku, berjalan ke arah loket untuk menukarkan kartu ini menjadi uang sepuluh ribu.
            “Oh… dia. Emang dia ada disana?” tanyanya. Kami berempat keluar dari stasiun Bojong Gede dengan membawa uang sepuluh ribu yang barusan ditukar.
            “Ya, tempatnya gak jauh dari gue.”
            “Gue tadi liat, kok. Tatapannya kayak gimana gitu. Jadi itu orangnya, toh.” Ucap Seno menyusul.
            Motor yang diparkir khusus untuk penumpang yang tidak mau cape, dikeluarkannya motor Ferdi yang kutumpangi tadi semenjak berangkat dari rumahnya menuju ke stasiun kereta. Membayarnya ke penjaga parkir tersebut, lalu mengendarai motornya menuju arah pulang. Aku masih memikirkannya tadi, yang secara jelas-jelas masih dalam ingatan. Bertemu dengannya, dan tidak menyapanya karena aku yang begitu kaku.
            Dan hari senin mempersiapkan kondisi tubuhku untuk mengambil rapot semester pertama yang berakhir di bulan Desember. Sejenak, motor meninggalkan stasiun ini, dengan bekas dia yang masih didalam kereta yang meninggalkan di stasiun Bojong Gede. “I’m hoping now, maybe not. But, I find you in train. I don’t know you’re go. I want said sorry for you. But how? This not easy, I broke relationship friend because me. Because my heart.” Dan… Aku meninggalkan stasiun itu dengan memikirkannya.


                                                            END

Tuesday 24 November 2015

Air Mata Air Mata

                                                                
(Spesial Teacher’s Day)

Semua orang  yang hidup di dunia ini, pasti bisa menangis. Yang terkandung bagaimana mereka cara untuk mengeluarkan berbutir-butir air mata. Layaknya, mereka mempunyai air mata yang mereka keluarkan dengan alasan-alasan tertentu. Marah, sakit hati, bahagia, bahkan mengingat tentang sebuah kenangan. Seperti para guru-guru sekolah, yang terkadang menangis karena tingkah kelakukan murid-murid yang seolah-olah tak enak dipandang oleh mata. Lalu, tak jarang kalau ada murid yang berani melawan guru.
            Hidup memang perlu dengan guru, dialah orang yang lebih pengalaman. Maka itulah aku yang selalu hendak mempelajari atau mengambil dibalik pengalaman-pengalaman yang ada diatasku. Titik-titik air mata yang mereka keluarkan, begitu meratapi berbagai macam masalah yang dihadapi oleh guru. Seolah-olah mereka bingung untuk mencari jalan keluar untuk bisa bebas dari zona-zona yang tak nyaman.
            Atau, para murid-murid bisa berbicara dengan empat mata oleh guru bermacam akademik. Tak hanya guru BP yang bisa mengasihkan sebuah solusi, guru akademis pun bisa dengan semuanya. “Jika kelak aku akan menjadi seorang guru, bukan guru dalam berbagai pelajaran, melainkan guru yang menjalani jalannya waktu kehidupan”. Tulisan ini terlintas aku membicarakan itu, “Jika kelak aku akan menjadi seorang guru, bukan guru dalam berbagai pelajaran, melainkan guru yang menjalani jalannya waktu kehidupan.” Kalau boleh dijabarkan, guru yang menjalani kehidupan pun bisa kita bagi kepada yang lain. Masalah kita yang sulit kita hadapi, hikmah-hikmah pelajaran hidup, atau pengalaman-pengalaman macam lainnya. Itu guru.
            Menitihkan air mata dengan hati, tak segampang yang kita rasakan. Hati terkadang hanya berdiam, sulit untuk mengeluarkan air matanya. Bahagia, mungkin bisa dikeluarkan, walau hanya setetes dengan cairan yang sedikit. Marah dan sakit hati, ya itu pasti. Marah dengan siapa, dan sakit hati kepada siapa. Yang apapun berbagai macam tertentu menitihkan air mata. Lalu dengan setiap waktu beberapa butir manusia yang menitihkan air mata. Sering bertanya-tanya, “Apakah air mata itu bisa abis?” tak ada yang memberitahuku.
            Sekarang pun sebagai murid sekolah, kita merayakan hari guru PGRI. Deretan guru-guru akademis, berdiri menunggu murid yang menyalami tangannya, memberikan gift, atau bunga-bunga. Guru favorit, guru yang membuatmu kesal setengah mati, bahkan guru yang selalu datang terlambat ketika mengajar. Mereka memberikan bunga kepada mereka, mengucapkan sepatah kata. Para guru pun menitihkan air matanya, dengan lagu Himne Guru yang melantun oleh grup paduan suara dengan suara yang merdu.

            Murid-murid yang menangis bersama gurunya, berpelukan, dan saling meminta maaf satu sama lain. Tumpukkan bunga-bunga yang diberinya, guru mengeluarkan tawa ketika ia tak mampu membawa bunga-bunga yang diberikan kepadanya oleh murid. Dan saling berfoto untuk mendapatkan sebuah kenangan yang mungkin tak akan terulang kembali. Jika ada mesin waktu pun mungkin tak akan pernah ada jaringan mesin waktu itu. 

Thursday 29 October 2015

Masihkah Ada Kesempatan Lagi?



Berapa kali aku telah mengirimkannya secerhah tulisan chatting walau aku tak seperti para laki-laki lain yang pintar sekali meluluhkan hati seorang perempuan. Tak seperti diriku, namun aku tahu diri, yang paling penting, aku mengungkapkannya dengan perasaanku yang jujur. Apakah waktu aku mengungkapkannya itu waktu yang belum tepat untukku? Masa-masa sekolahku di SMA ini, aku hanya menikmati beberapa bulan saja untuk menikmati masa-masa sekolah putih abu-abu yang kukenakan sudah hampir lama. Beberapa para rekan-rekan teman pun, yang awalnya dekatan, saling bercanda atau tertawa riang, kini telah sirna dan mulai tak seperti dulu lagi.
            Berlama aku menginjak kaki di sekolah SMA ini selama tiga tahun, tak terasa bahwa aku akan semakin dewasa dengan umurku dan pikiran yang matang. Walau banyak yang bilang aku bukanlah laki-laki dewasa, benarkah itu? Katakan saja padaku. Mungkin, beberapa banyak para murid di SMA yang memiliki yang mereka rasakan masing-masing. Bahagia, sedih, duka, atau bahkan terluka yang masih masuk dalam kategori sedih. Yang paling aku sering lihat adalah kebahagiaan mereka yang mereka miliki. Aku pun sama, bahagia yang mungkin aku rasakan tanpa aku sadari. Seperti hatiku, yang selalu mengatakan, “Dia, dia, dan dia”. Seorang perempuan berambut panjang yang sudah kenal lama denganku, dan sekarang akulah pemilik rasa-rasa itu.
            Kenangan-kenanganku hampir tak terlupakan dengannya, menonton film di bioskop berdua dan menikmati film komedi di malam hari Sabtu. Sekarang, aku bingung dengan apa yang mesti aku lakukan, terutama seorang perempuan.  Lambat laun sekian berapa bulan kemudian, entah darimana itu rasa-rasa yang datang. Ya, seorang laki-laki yang berdatangan dengan rasa tanpa permisi atau mengetuk terlebih dahulu. Suatu waktu aku mencoba untuk mengeluarkan isi yang aku ungkapkan, aku mengatakannya, “Aku suka kamu.” Rasa suka, dan sudah bercampur cinta yang aku miliki. Namun lain halnya, dia tak menerima perasaanku, bahkan aku melihat sebuah percakapan yang ia kirim kepadaku dan kata orang, itu merendahkan martabat orang. Ah, aku tak peduli dengan ucapan itu.
            Beberapa kali laki-laki ini mengucapkan nama untuk seseorang yang dia cintai? Yang sanggup untuk menjalankannya secara dewasa? Dan secara pantas untuk diperjalankannya jika kehendak mengizinkan? Aku sangat berharap, walau aku berucap, “Aku ingin bisa mengungkapkannya lagi dan berusaha untuk meyakini.” Tetapi, kemarin pada hari Selasa, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, aku tak tahu siapakah ia lagi. Aku tak mau berburuk sangka. Aku melihat seorang lelaki memegang tangannya ia dengan lama. Dan aku hanya terpaku melihatnya, meski sekarang aku berdiam diri saja, mencobanya kembali dengan perlahan.
            Dan banyak yang aku lihatkan dan tak mau aku tulis disini, ya, sampai sekarang rasa-rasa ini masih terus berganjalan di hati. Akankah aku bisa meraih ia lagi? Apakah aku bisa menggapai seseorang itu? Kalau bisa, aku ingin mendapatkannya bukan hanya sekedar memiliki, namun aku ingin menyentuh hatinya, dan aku tak peduli keburukan dan kebaikannya. Karena aku pun sama, kebaikan ada, dan keburukan rupa busuk pun ada. Akankah aku diberi kesempatan lagi untuknya? Aku berkali-kali mengucapkan kata dan nama untuknya dengan sepenggal doa-doa. Nyatanya, aku belum tahu kemudian. Aku bukanlah seorang pengejar cinta, seperti yang dikatakan dia, tidak! Aku bukan itu.
            Aku hanya secara jujur dan secara bersikap baik untuk membicarakannya ini. Sumpah, aku tak mau menyesal di kemudian harinya. Aku selalu takut dengan itu. Apakah aku pengecut? Tidak, namun memang itu. Sekarang pun, mungkin aku bisa mengungkapkannya pertama kali, tetapi dengan kedua kalinya kini? Aku belum tahu untuk waktu yang bisa menyelaraskan keadaan. Apakah aku bisa menggapai dia? Dan sepenggal terakhir: Aku mencitaimu dengan jujur.

Sunday 6 September 2015

Proses Album


Reporter: Aflaha Rizal
Mantan personil JKT48 ini, yang meranah menjadi solo karir, Stella Cornelia, kemarin malam pun sukses menggelar mini konsernya dari acara Honda yang bertepatan di Cibinong City Mall, Cibinong, (05/09/2015). Perempuan yang lahir di kota Semarang 03 November 1994 ini, menampilkan dua lagunya yang berjudul “Inilah Aku” dan “Aku Menyerah”. Para fans yang dari JKT48 yang dulu sangat mengidolakan Stella yang dahulu masih di grup JKT48 yang membesarkannya itu, masih datang dan memberikan apresiasi yang terbaik. Tak heran, para fans dan dokumenter di salah satu bagian fanbase-nya itu, memotret Stela yang beraksi di mini konsernya yang penuh energik dan semangat dalam membawakan lagunya.
            Stella mengatakan, sekarang ia telah menuju proses dalam albumnya. Album yang akan dia keluarkan pun belum dipikirkan dari nama tema albumnya tersebut. Juga, album yang akan ia kerjakan ini, ada dua lagu yang akan masuk ke dalam album itu yang ia bawakan pada mini konser pada waktu malam. “Proses pembuatan album ini, masih dipikirin. Ya doakan saja, semoga lancar.” Ungkapnya dengan ramah.
            Stella juga merasakan, dahulu yang sekarang ini ternyata Nampak beda. Dulu yang bergabung bersama JKT48, ia mengatakan dulunya rame-rame waktu konser dan konsep dari grup JKT48 itu. “Ya, makanya aku yang sekarang, ya aku jalanin aja. Ilmu yang dulu di JKT48(mantan) aku pake disini, dan sekarang aku memulai dengan solo karir.” Katanya. “Dan ilmu itu gak akan pernah hilang, dan akan tetap terus aku pake disini(solo karir).” Tambahnya kemudian. Waktu saat di wawancara, Stella mengeluarkan logat bahasa Jawa saat ditanyakan yang dahulu masih bergabung di JKT48 itu. “Grup Apah.”
            Baginya yang sekarang, Stella mengeluarkan selalu mengeluarkan yang terbaik di solo sekarang ini. Dan tetap mengeluarkan kemampuannya Stella dalam bernyanyi untuk diberikan kepada fans-nya supaya tetap mendukung dia walau bukan tidak di JKT48 lagi. “Tampilin yang terbaik aja, dan berusaha dengan keras.” Ucapnya lagi.
            Perempuan yang sudah bermain film “Remember When”, “Kukejar Kau Sampai Di Negeri Cina”, “Bidadari Terakhir”. Film “Bidadari Terakhir” ini adalah film terbarunya yang akan keluar di bioskop pada tanggal 10 September 2015.

Salah Satu Dari Karyanya Sendiri
Dalam lagu yang Stella bawakan, yang akan dibawakan dalam mini konser malam kemarin, dan akan memasuki ke proses albumnya, lagu dari salah satu tersebut ada yang dari karya Stella sendiri. Dan manajemen Stella pun sangat mengerti untuk lagu yang sesuai dengan konsep dan segi vokal yang ada di diri Stella tersebut. Juga, dari projek tersebut adalah dari dalam diri Stella yang ia mau. “Manajemen selalu ngertiin, dan dari semua projek yang aku buat itu, aku banget, deh, pokoknya.” Ungkapnya, yang dulu bermain Bima Satria Garuda ini.
            Lagu “Inilah Aku” ini adalah karya yang ia buat sendiri, dari segi vokal yang ia kuasai itu. “Pokoknya mudah-mudahan lancar nanti, doakan saja.” Akunya dengan tersenyum. Ia juga mengatakan, meranah ke solo karir ini adalah tahap dimulai dari awal kembali saat dari awal memasuki ke grup JKT48 yang bertahan, lalu memutuskan untuk solo karir. “Temen-temen juga kebetulan, masih ngedukung aku yang sekarang prioritas yang aku pilih sekarang ini. Juga fans yang masih datang, masih terus kasih aku support sampai sekarang.” Ucapnya.
            Stella yang akan fokus ke bernyanyi ini, ternyata berpikir kemudian, setelah ia bernyanyi dan juga bermain film ini, baginya ini adalah hal yang nyaman untuknya. Ia juga mengatakan lagi, dua-duanya itu tak akan pernah terpisahkan yang ia jalankan sekarang ini. “Jadi kalau sambil dua-duanya kenapa enggak.” Tanggapnya.
           

Friday 28 August 2015

Mpok Ameh: Teman Curhatku



Bagaimana perasaanmu suatu saat, seseorang yang kau dekat, bahkan menurutmu, dia asik dan meyenangkan dalam hal bicara, sekarang telah tiada yang senantiasa membuatmu terhibur? Tak percaya? Ya, bagiku memang begitu. Semenjak sosok yang membuatku terhibur, dialah sosok yang membuatku senang setiap saat. Bahkan, sama seperti teman sebayaku. Namun kini, dia adalah sosok perempuan berumur sekitar 30-an lebih, berbadan gemuk, dan selalu membantu pekerjaan di rumah orang.
            Mpok Ameh yang begitu kukenal, aku mengenalnya waktu aku di zaman kelas 2 SMP. Dan ada liburan semester panjang selalu aku mengunjung rumah sepupu untuk menginap selama satu minggu. Dahulu sebelum ada Mpok Ameh, ada sosok seorang pembantu yang bernama Nia. Sekarang dia tidak bekerja disitu lagi, melainkan info yang aku dapatkan, dia bekerja sebagai karyawan toko kue.
            Setiap pagi maupun siang, Mpok Ameh selalu datang mengunjungi rumah sepupuku untuk siap bekerja. Membantu mencuci pakaian, memasak makanan, bahkan menggosok pakaian yang sudah kering sehabis mencuci. Bagiku Mpok Ameh sosok yang ramah, dalam hal berbicara dialah sosok yang banyak menggenang tawa. Baru kali ini aku merasakan seakrab oleh seorang Ibu-ibu yang tidak memiliki sang suami.
            “Dulu Mpok Ameh masih kecil, Zal. Mpok Ameh dulu pernah manggung kayak lagu-lagu dangdut gitu. Pas mau ditawarin rekaman, eh bagian produsernya itu nakal banget. Yaudah gak Mpok Ameh ambil.” Ucapnya dengan ramah, aku menanggapinya. Apakah pandai bernanyikah ia? Apakah ia dahulu bisa menanyikan sebuah tembang lagu dangdut tersebut? Aku ingi tahu lebih lanjut lagi.
            “Berarti Mpok dulu jago nyanyi, dong?” tanyaku kemudian.
            “Iya, tapi dulu. Kalau sekarang mah, enggak.” Jawabnya.
            Bercerita dan setiap saat aku selalu bertemu dengannya, tak lepas dari ucapan yang kami keluarkan untuk menceritakan sesuatu. Saat aku menceritakan seorang perempuan yang aku sukai, namun aku hanya bisa mengaguminya dari jauh, kenal pun saja tidak. “Cantik, Zal. Kayak keliatan manja gitu dari wajahnya, kenapa gak kamu pacarin aja, Zal?” tanyanya. “Kalau kamu pacarin, kan, kalau kamu jalanin bisa sampe pelaminan, itu kalau jodoh ya, hahahahahha….”
            Aku hanya bisa ikut tertawa, tertawa dan tertawa ketika kami berdua bercerita. Sesosok pulalah dia yang aku anggap perempuan tegar dan kuat. Yang kuketahui, saat dirumah tidak ada bahan untuk memasak, Mpok Ameh membeli makanan kecil yang dijual di warung saat matahari kian menyengat di siang hari. “Kamu mau apa, Zal? Mau rendang? Kan kamu suka rendang?” tawarnya, aku memilih rendang karena itulah makanan kesukaanku semenjak di kelas 6 SD. “Itu saja tidak apa-apa, Mpok.”

                                                                                    ***

Malam yang begitu masih Mpok Ameh disana, Mpok Ameh dan aku sama-sama makan ketika sepupuku yang perempuan, Rina, hendak bepergian bersama teman satu sekolahnya. Kami masih saja terus bercerita dan bahkan Mpok Ameh selalu membicarakan tentang darahnya anak muda. Cerita yang pernah ia alaminya semasa muda.
            “Kalau anak muda mesti hati-hati, Zal. Kalau salah jalan, bahaya.” Katanya. “Apalagi kalau Narkoba, sakau aja kamu udah kayak orang mau mati. Jangan, deh. Kasian Bapak nyari duit.” Aku mengangguk, mendengar semua ucapannya yang kini aku kembali membalasnya dengan topik lain. Topik yang Mpok Ameh bicarakan, pernah suatu ketika Mpok Ameh membicarkaan tentang keagamaan, misterinya sebuah kematian.
            “Kita, mah, hanya bisa pasrah, Zal. Selagi kita usaha di jalan yang bener.” Katanya.
            “Iya, sih, Mpok. Aku tau itu.”
            “Yang penting, mah, banyak ibadah aja pokoknya.”
            “Itu memang sudah amanatnya, Mpok.”
            Mpok Ameh bertempat tinggal yang tidak jauh dari rumah sepupu di kota Depok, hanya berjalan kaki pun sampai. Dia tidak pernah mengeluh dalam bekerja, walaupun hanya sebatas membantu di rumah orang. Tak hanya di rumah sepupuku saja, bahkan di rumah orang pun cepat ia kerjakan. Apapun pekerjaannya itu. “Semasa halal, Mpok Ameh selalu jalanin, Zal. Makanya, kamu kalau udah kerja, cari kerja yang bener, nabung, kan masa depan udah ada yang ngatur sama yang diatas.” Ucapnya suatu ketika.
            Mpok Ameh seperti seorang motivasi selain berbicara secara topik yang mengena yang patut kami bicarakan. Bicara tentang politik saja pun dia tanggapi, Mpok Ameh selain pekerjaannya hanya pembantu di rumah orang, wawasannya pun sangat luas. Tak jarang aku menemukan sosok seorang Ibu yang tidak memiliki seorang suami yang tahu arti segala hal dalam kehidupan. Musik, Film, Karangan sebuah cerita, sebuah lukisan ternama, bahkan dunia-dunia yang penuh dengan tanda-tanya yang selalu masuk ke Koran pun selalu dia keluarkan.
            Di kala aku sepi tanpa seorang teman yang menemani, sosok Mpok Ameh inilah yang sama sekali persis dengan teman sebayaku. Meskipun dari umur yang berbeda, dari cara berbicaranya pun sangat lugas bak seorang anak-anak muda yang penuh dengan hidup pergaulan di masa-masa sekarang ini. Tak menyangka, hingga selama dua tahun bertemu dan kembali berbicara, dia selalu memanggil kalau aku benar-benar berada di rumah sepupu yang hendak kukunjung. “Rizal!”

                                                                        ***

Begitu juga pada akhir tahun 2012, semuanya berkumpul ria untuk menyambut pergantian tahun. Ada yang membakar ayam yang digandrungi anak-anak sebaya denganku, ada yang berbicara dengan tertawa keras sesambil menghisap batang rokok yang mereka nikmati, juga beberapa yang hanya terbaring tenang di sebuah acara TV.
            Mpok Ameh ikut dengan kami pada waktu tahun akhir 2012, mengikuti pergantian tahun bersama. Dia sengaja membagi waktu untuk ikut berkumpul disana. Lalu dengan riangnya, dia berbicara bersama seorang yang sepantaran dengannya, mulai dari Ibu kandungku, hingga Ibu saudara sepupu yang beramai-ramai berkumpul disana. Tak juga, anak-anak kecil yang bermain di ruang tamu dengan permainan yang mereka punya.
            Mpok Ameh dibelakang yang sehabis berbicara, lalu membuatkan sambal untuk penambahan disaat menikmati sesi makan ayam bakar yang sudah 5 ayam yang sudah jadi bahkan baru diangkat dari panggangan.
            “Sambel buatan Mpok Ameh, Zal. Tinggal berapa ayam lagi yang mau dipanggang?”
            “Masih ada empat ayam lagi, Mpok.” Jawabku dengan mengipas-ngipas ayam yang masih dalam tahap pemanggangan.
            “Oke, cobain, Zal sambel Mpok Ameh.”
            Tengah malam yang masih jam 11, beberapa dari anggota sepupu Ayahku sudah membawa petasan air mancur yang siap mereka luncurkan bersamaan di jam 12 tepat pergantian tahun 2013. Lalu kemudian, kami menikmati ayam bakar yang sudah dipanggang bersama, lalu menikmati sambal dari Mpok Ameh.
            “Enak, Mpok sambelnya.” Pujiku, memang enak sekali di lidah dengan campuran ayam bakar yang sudah matang.
            “Yalah, nanti Zal, kapan-kapan Mpok bikinin lagi kalau Rizal masih disini.” Jawabnya dengan menikmati daging-daging ayamnya.
            Derusan angin yang begitu membuat sekujur tubuh menjadi dingin selayaknya es yang menempel. Detik-detik pergantian tahun berhasil dengan cepat, peluncuran petasan air mancur yang menembaki ke langit sebanyak sebelas kali. Lalu berbarengan dengan ledakan air mancur yang ikut meluncur ke penjuru langit malam. Inilah yang dinamakan pergantian tahun yang begitu memenuhi momen setiap yang ada. Yang patut diisi dan dikenang sepanjang masa.

                                                                        ***

Seakrab-akrab ku dengan Mpok Ameh, yang aku jadikan teman seperti teman sebaya yang ada. Sosok Mpok Ameh lah yang selalu dicari yang selalu menemani setiap saat. Mengobrol, bahkan selalu penuh canda dalam pengobrolan sebuah topik-topik yang ada.
            Sekitar pada tahun 2013 pertengahan, yang selalu bertemu dan selalu mengobrol kembali dengan penuh canda lagi. Mpok Ameh mengidap penyakit kanker, aku tidak tahu kanker apa yang menyerangnya dan sudah memasuki stadium ke berapa ia. Sesaat itulah, yang kudapatkan dari informasi-informasi yang ada. Namun, beberapa minggu kemudian, yang membuatku sedih ialah: Mpok Ameh telah tiada. Aku masih merasakannya, disaat aku masih berbicara dengannya, dan itu aku tidak ada di rumah sepupu, hanya saja aku mendapatkan info ini dari Rina.
            Aku memang tidak bisa melihat pemakaman terakhir Mpok Ameh yang telah meninggalkan dunia dengan penuh canda yang aku lakukan dengannya. Dan Mpok Ameh sejenak menghadap sang pencipta dan hidup tenang di alam sana. Kembali, Mpok Ameh adalah salah satu bagian dimana aku bisa curhat dengannya, dan selalu ia memberikan motivasi setiap saat. Dan aku masih mengingatnya, meskipun tak percaya sesosok Mpok Ameh yang telah tiada. Namun dalam kenangan yang ada, semenjak ia sudah tiada, aku sudah tidak bisa lagi merasakan berbicara ramah tamah dengannya, selalu dan setiap saat.

                        “Selamat jalan Mpok Ameh, teman curhatku, yang selalu berbicara penuh canda setiap saat. Semoga Mpok diterima di sisinya, dan selalu hidup tenang di alam sana. Sosokmu, tak akan pernah kulupakan, semasa hidupku yang aku lanjutkan misi-misiku disini.”
           

Sunday 16 August 2015

Sekilas Kopi Hitam




Kau tau? Kalau minuman kopi itu, bisa dibilang, kita itu ialah “Kakek-kakek” atau “Bapak-bapak”? Pasti banyak yang bilang, apalagi aku. Yang kalau ada mood ingin meminum biji hitam tumbuhan itu, aku segera membuat. Kopi hitam? Berapa kali aku pernah mencoba biji hitam, nan pahit dengan ditambah gula dengan selera kita sendiri?
            “Kopi hitam itu, kalau lebih bagusnya, gak pake gula. Biar bisa tau, pahit manis yang ada didalam kopi itu.” Ucap my brother, Fikri. Ya, bisa dibilang memang seperti itu. Tapi, ketika kupikir-pikir, memang ada benarnya juga. Pahit? Bagiku aku memang tidak terlalu suka dengan yang pahit. Selalu ingin yang manis. Selain kopi susu juga kopi berkaramel yang ada didalam takarannya itu. Selalu kucoba dengan kopi dengan nikmatnya taburan rasa itu.
            Dengan kopi hitam, sekilas kopi yang dahulu, pernah ada seorang tentara Belanda yang suka dengan kopi itu. Meskipun aku tak terlalu tau, atau mungkin lebih dikenal dengan mengocek-ngocek sejarah-sejarah Belanda. Apalagi zaman minuman kopi yang pasti, aku memang mengarang. Kalau beneran, tak mengapa. Kalau salah, ya mungkin kurang lebih mendetail dengan apa yang ada.
            Tak seperti kopi-kopi buatan ciptaan negeri di pangkuan Ibu Pertiwi. Seperti hal-nya kafe-kafe yang menyajikan kopi-kopi rasa maupun kopi hitam dengan gaya luar negeri atau(asing). Kafe yang membuat orang yang lebih, suka ketimbang dengan kopi rumahan. Ya, meskipun masih ada yang belum tentu semua manusia lebih suka kopi di kafe ketimbang kopi rumahan.
            Ketika mencoba, aku pernah mencoba Americanno Black Coffee. Alhasil, ketika aku tak mencoba untuk tidak memakai gula terlebih dahulu. Pahitnya tentu beda, tidak seperti pahit seperti kopi bubuk, dibagian bawahnya yang ditindih cairan yang bercampur hitam itu. Masih ada bubuknya. Pahitnya memang begitu khas asing sekali. Dengan begitu, aku memakai gula dengan dua sachet untuk memaniskan suasana. Terlebih mencoba tiga kali minum. Membuatku hanya mengeluarkan lidah dengan rasa ingin memuntahkan apa yang ada didalam perutku.
            Kopi hitam yang selalu kucoba, tidak terlalu sering, bahkan ketika mood ingin minum kopi ada. Aku segera menuntaskannya. Terlebih kalau tidak ada mood ingin meminum bubuk biji tumbuhan itu, terlebih aku hanya membuat raukan tumbuhan yang berubah menjadi minuman teh manis dari alam itu.