Tema:
“Pers Sebagai Pahlawan”
#Great3rdCOMPETITIONFEUNJ
Pemberitaan kemarin
salah satu berita yang membuat aku tegang, sekaligus takut. Coba saja, aku
meliput sebuah kejadian konflik kerusuhan ‘Tawuran’ antar warga juga anak muda.
Genggaman tangan untuk mengambil gambar tak lepas melihat ke arah lain.
Kalau-kalau ada benda melayang yang nyasar menimpaku. Aku seorang wartawan yang
bekerja di surat kabar Media Indonesia. Sekaligus Cerpenis yang selalu ku isi
di surat kabar tempat dimana aku bekerja.
Kebetulan,
selama aku menjalankan profesi sebagai Jurnalis selama lima tahun, aku begitu
memiliki pengalaman yang begitu ganda. Mendapat pekerjaan seperti ini, juga
tanda pengenal Pers bernama diriku sendiri, Aryo. Pengalaman pertama ketika aku
bertemu musisi hebat dari mancanegara, yang manggung di Indonesia. Menulis
berita tentang mereka memang sudah menjadi setiap hari dimana aku selalu
menjalankan aktivitas bekerja seperti ini. Dan selalu membuat berita yang baik
untuk menyegarkan mata masyarakat saat mata mereka akan membaca informasi di
surat kabar yang terbit keesokan harinya.
Suara
siren Polisi berdatangan, massa itu kabur entah kemana. Hanya aku sendiri, yang
mengambil gambar dari kamera, juga menyiapkan isi kepala untuk merangkai
berita. “Kamu wartawan dari media mana?” ucap salah satu Polisi berbadan tegap.
Berwajah tegas. Juga suara intonasi yang terdengar begitu di segani orang.
Daritadi, aku hanya diam, fokus kepada mereka yang kabur saat bidikan kamera
berhasil mengambil gambar untuk melalui jalur seleksi. “Saya dari Media
Indonesia, Pak,” jawabku, memperlihatkan kartu tanda pengenal diriku sendiri.
Sosok polisi itu menganggukan kepalanya, lalu mengangkat HT dan berbicara
kepada rekannya untuk memberitahukan tempat kejadian.
“Mereka
kabur. Entah kemana. Jalanan berantakan, bekas-bekas batu yang mereka lempar
berbekas di jalan aspal. Sebagian ada yang ngelempar bom Molotov.” Ucapnya.
“Disini
saya sedang mengejar sebagian yang lain. Yang ikut terlibat. Mereka berpencar.”
“Saya
disini mengamankan keadaan.”
Aku
mulai mengikuti langkah sosok polisi berbadan tegap itu. Bernama Julianto yang
sedang mengambil beberapa seperti batu-batu, dan pecahan beling dari botol. Aku
menulis beberapa barang bukti yang sedang dipegangnya. Dan suara HT itu
terdengar kembali. Mengagetkan sosok seorang Julianto itu dengan cepat dan
tanggap menjawabnya. “Bagus, bawa kesini orang yang sudah berhasil ditangkap.
Kita mintai keterangan!” suara tegasnya masuk ke telinga pendengaranku.
Tak
menunggu beberapa lama, mobil polisi yang katanya sempat berpencar itu datang.
Membawa dua orang yang berhasil ditangkap itu. seorang polisi bernama Julianto,
berjalan dengan tegap. Menghampiri dua orang itu, lalu segera diintrogasi
ditempat. Aku dikerumuni oleh lima wartawan. Sebagian wartawan dari Media
Televisi. “Kamu asal mana? Masalahnya kenapa bisa terjadi seperti ini?”
tanyanya kepada dua orang itu. Terlihat menundukkan kepalanya. Keduanya itu
hanya diam membisu.
Aku
bersiap untuk mencatat jawaban dari dua orang yang berhasil ditangkap. Terus
ditatar berupa pertanyaan dari Polisi, mereka akhirnya menjawab juga. “Saya
asal dari gang sana, Pak. Gak jauh dari tempat kejadian.” Kata seorang itu
berpakaian berwarna biru. Satunya, memakai baju putih hanya diam.
“Kenapa
bisa terjadi ini?”
“Saya
kelompok preman yang selalu buat masyarakat sini resah, Pak,” jawabnya lagi.
Catatan
jawaban dari seorang yang tertangkap bisa aku jelaskan melalui rangkai berita.
Sudah jelas keduanya itu, adalah seorang preman. Dari kartu tanda penduduk yang
dilihat polisi. Polisi juga menggeledah seorang preman yang memakai baju putih.
Terbukti menyimpan sabu di kantong celananya. Mereka keduanya langsung dibawa.
Dan aku pergi ke suatu tempat, menyelesaikan pekerjaan ini. Menulis berita dan
memulai dari paragraf awal.
Aku
melamun memandang tulisan berita yang setengah kukerjakkan. Takut ada yang
salah dalam memilah kata, atau kata-kata yang berujung typo. Aku selalu mendapat tanggapan dari bagian Editing, melihat
tulisanku ada yang salah ketik. Mereka begitu jeli, melihat seluruh tulisan
berita yang kutulis dan tidak hanya aku, beberapa wartawan yang bekerja juga
merasakan hal yang sama. Menulis berita sudah menjadi bagian hidup, sebagai
pekerjaan mulia. Juga seperti menulis cerita berupa cerpen yang juga ikut
terbit di rubrik hari Minggu harian Media Indonesia.
Dan
mereka, masyarakat. Mereka selalu butuh informasi dari beberapa berita yang
selalu muncul. Berita sosial, berita hukum, berita kriminal, berita musik, atau
berita lainnya. Hidupku selalu menuruti dan melayani mereka. Sebagai pahlawan
untuk dunia. Sadar, bahwa pekerjaanku memang benar mulia, dan benar pahlawan.
Kusadari kata-kata itu dari beberapa artikel mengenai sosok seorang Jurnalis,
atau seorang kekasihku sendiri, Melly. Yang bekerja di suatu perusahaan Bank
Dunia.
_____
Tempat café di Jakarta begitu lengang, sebentar-sebentar
aku melihat beberapa pajangan figura mengenai tulisan seperti kata motivasi
hidup. Atau motivasi dalam kopi berbagai macam rasa-rasa. Memang jatahku libur
sekarang, namun aku menggantikan Yusril, salah satu bagian wartawan lapangan
yang mendapatkan jatah untuk meliput café yang selalu ramai di mata masyarakat
yang selalu mereka kunjungi. Aku menerimanya, dan aku ditemani Melly, karena
aku yang mengajaknya. Melly tidak repot jika aku tinggal sendirian yang sedang
menikmati kopi disana. Isyarat kepalanya menandakkan bahwa aku harus
melaksanakan tugas kerjanya. Dan aku pergi menuju bagian officer disana.
Aku
bertemu salah seorang atasan, yang mempunyai beberapa kata-kata jawaban yang
siap aku catat tuk dijadikan berita. Dia salah satu pendiri, karena rasa
cintanya dengan kopi. Dari hobi, dan pertama kali mengenal kopi dari sosok
Ayahnya yang setiap pagi selalu sarapan kopi. “Ayah saya yang menularkan saya
inspirasi, hingga terjadilah sekarang. Tapi disini, saya sebagai pengelola juga
mengeluarkan beberapa menu kopi yang berbeda dari lainnya. Kadang kopi dicampur
rasa buah-buahan.” Ucapnya yang bernama Ferry. Suaranya yang serius, sosok dari
matanya yang terlihat terbuka kepada seorang Jurnalis sepertiku yang sedang
mendengar beberapa jawaban darinya dan mencatat.
“Yang
mereka suka dari kopi rasa buah-buahan apa, Pak?” tanyaku lanjut.
Dia
mengangguk, segera menjawabnya kembali. “Kopi bercampur aroma rasa Anggur. Saya
selalu melihat beberapa tanggapan dari mereka, mereka bilang begitu unik,
katanya. Hehehehe. Tapi bersyukur, dan mampu membuat saya lebih fokus kepada
kopi bearoma buah. Tapi tak lupa juga, kopi yang benar-benar rasa kopi. Kalau
buah, itu cuma selingan tapi harus ikut serius juga.”
“Oke.
Apa dari café ini sudah punya cabang?”
“Belum.
Baru disini. Mungkin, satu saya akan buka cabang di Bandung. Doakan saja.”
Jawabnya tersenyum.
Aku
pergi dengan hormat, tak lupa memesan satu kopi lagi, kopi aroma buah-buahan.
Aku memilih rasa Anggur. Tepat dimana masyarakat menilai rasa kopi itu sendiri.
Tadinya, aku memesan kopi cokelat yang lebih full cokelatnya. Lumayan untuk
meningkatkan gairah menulis berita, sebagai seorang pengganti dari teman sesame
profesi. “Aku tinggal nulis berita dulu gak apa-apa, kan, ya?” tanyaku. Dia
menggeleng. “Baguslah.” Aku tertawa sesingkat. Menunggu kopi aroma rasa Anggur
datang ke mejaku. Melly diam, menatap handphone-nya di saat aku mulai menulis
berita sekarang.
“Karena
seorang pekerja pahlawan harus menuruti masyarakat, kan?” katanya tiba-tiba
saat tengah sibuk menulis. Aku diam. Tidak memandanginya. Malah mendengar apa
yang diucapkan Melly tadi.
Aku
tertawa, menggeleng pelan. “Bisa aja.”
“Emang
bener, kan? Beberapa kali aku pernah bilang soal ini sama pekerjaan kamu.
Pekerjaan mulia dan pahlawan bagi bangsa, kan?”
“Iya,
iya, deh. Makasih!” jawabku riang. Terus menulis hingga terkumpul lima halaman.
Tak
lupa mengambil beberapa objek didalam tempat ini. Aku memilih tuk mengambil
gambar dari dalam suasana café. Suasana yang terlihat begitu nyaman dipandang.
Atau jika kamu berimajinasi, imajinasi berputas melihat suasana ini seperti
ingin kamu jadikan tempat tinggal saja. Yang setiap hari selalu bernuansa
minuman kopi. Kopi aroma buah Anggur belum aku sesap. Aku menjawab “Iya” saat
pesanan itu datang tanpa memandang pelayan karena aku sibuk sekali merangkai
berita.
“Kopinya
tuh, gak di minum?” mata Melly menatap terus ke kopi yang ada di sebelahku.
Aku
langsung menanggapnya. “Aku lagi editing kata-kata dulu.” Ya, semua sudah
rampung, aku langsung mengoreksi lewat dariku sebelum nantinya berpindah jalur
lewat bagian editing. Aku menyicilnya, sebelum bagian editing yang akan
membereskannya. Dan melihat-lihat rangkaian berita yang sudah kubuat tadi.
Semuanya beres, dan semuanya telah rampung sesuai fakta dari lapangan. Tak lupa
aku mengucapkan terima kasih kepada Yusril, berkatnya, aku sekaligus menikmati
liburanku bersama kopi.
Kepalaku
mulai kugerakkan ke kanan dan ke kiri. Tulang-tulang leher berbunyi, lalu
menyambung di pargelangan tangan. Jari-jariku, terutama. Hasil mengetik berita. Berita tentang café kopi yang mempunyai menu unik
dipandang masyarakat. Juga dipandang bagiku. Kuambil cangkir putih yang belum
aku sesap, sebuah kopi yang masih terlihat penuh. Lidahku bermain, ikut merasa.
Lidah yang kumainkan didalam mulut, merasakan rasa kopi bercampur Anggur yang
menjadi satu. Begitu enak. Dan benar, kopi ini yang selalu di nilai di mata
masyarakat yang menyukainya.
Tulisan cerpen ini, dalam rangkaian acara kompetisi yang diselenggarakan oleh @Econochannel dengan hastag lomba #Great3rdCOMPETITIONFEUNJ dari Universitas Negeri Jakarta 2016.
No comments:
Post a Comment